Anak-anak itu tampak bahagia berjalan bersama. Senyum tak lepas dari wajah muda dan bergairah itu. Hari ini Shana, Naya, dan Meru akan mengunjungi rumah Shana. Mereka tampak antusias akhirnya mereka bisa bermain bersama terutama Shana.
Kini mereka berada di depan rumah Shana. Rumah dengan pagar berwarna putih itu tampak sunyi karena memang tak ada penghuninya.
Saat memasuki rumah berlantai dua itu. Saat masuk mereka akan melihat foto keluarga yang terpajang di dinding. Naya memperhatikan foto itu dengan seksama tiba-tiba ia merasa merindukan Ibunya. Ia dibesarkan oleh Ibunya tanpa kasih sayang seorang ayah. Ia sangat iri melihat keluarga Shana tampak bahagia di foto itu.
Seandainya dia punya ayah, ia ingin merasakan bagaimana ayahnya memeluknya ketika ia terjatuh. Belajar bermain sepeda dengan ayahnya. Sungguh ia ingin merasakan hal-hal kecil bersama ayahnya.
"Di minum dulu, cuma ada ini. Kayanya pembantu aku udah pulang jadi kita sendirian di sini." Shana datang membawa nampan berisi tiga gelas minuman dan beberapa kue-kue.
"Ini kue terenak yang pernah aku coba." Naya memperhatikan kue-kue itu seperti tidak asing. Ia mencicipinya dan benar saja ini adalah kue yang ada di Susan's Bakery.
"Gimana enak gak?" Shana bertanya dengan mata berbinar. "Gue tiap hari makan kue ini jadi biasa," jawab Naya acuh.
"Enak banget, dong. Kok kamu bisa sih makan kue seenak ini?"
"Jelaslah ibu gue yang bikin." Naya menyombongkan dirinya.
"Ibu kamu yang bikin ini? Ibu kamu kerja di toko itu?" Shana dibuat semakin penasaran.
"Bukan cuma kerja, tapi ibunya pemilik Susan's Bakery." jawaban Meru membuat mata Shana terbelalak. Jadi selama ini pemilik toko kue itu adalah ibunya Naya.
"Aku sering kesana tapi kok gak pernah liat kamu." Shana memang kerap membeli kue ditoko itu, tapi tak pernah melihat Naya disana.
"Gue biasanya di belakang, jadi jarang keliatan lagian gak sering gue bantu-bantu," jelas Naya.
"Rumah lo sepi banget ya, pada ke mana?" Meru membuka pembicaraan.
"Bunda ikut Ayah keluar kota katanya ada acara bisnis. Aku juga gak ngerti."
"Terus Kak Sam kemana?" Semenjak Sam memergoki dirinya dan Shana tempo hari Meru sedikit was-was. Takut jika Sam tiba-tiba muncul dan menerornya.
"Kak Sam udah balik karena udah harus masuk kuliah." Meru mengangguk tanda mengerti.
"Lo gak punya adik?" Kini Naya yang bertanya. Shana hanya menggelengkan kepalanya.
"Aku akan senang sekali kalo punya adik, jadi aku gak kesepian. Kak Sam udah sibuk sama kuliahnya udah gak punya banyak waktu kaya dulu."
"Lo bisa anggap kita kaya saudara kok." Shana membalas dengan senyuman.
"Kalo kamu Nay? Punya kakak atau adik?"
"Gue anak tunggal. Ayah gue udah meninggal pas gue masih kecil bahkan gue gak tahu wajah ayah gue." Shana mendengarnya iba. Seharusnya ia tidak bertanya.
"Maaf, Nay. Aku gak tahu." Shana sangat menyesal menanyakan perihal itu.
"Gapapa kok, santai aja kali." Naya membalas dengan senyuman.
"Shan gue pengen liat kamar lo dong." Meru mengalihkan pembicaraan agar mereka tidak terlalu serius.
"Oh boleh, ayo kita ke atas."
Sesampainya mereka di pintu berwarna putih dengan tulisan Shana'Room menandakan jika ini kamarnya.
Ketika memasuki kamar ini warna kuning mendominasi. Kasur berwarna kuning cerah dengan bantal dan guling berwarna senada. Lemari pakaian berwarna kuning pucat berada di ujung ruangan dan karpet berbulu berwarna kuning menjadi tempat mereka duduk sekarang.
"Wah kamar lo kaya kamar Spongebob. Warna kuning semua." Meru berujar melihat seisi kamar ini.
"Jangan disama-in sama Spongebob juga, dong. Aku emang suka warna kuning kelihatan cerah dan ceria."
"Sama kaya orangnya."
Kini mereka sedang melihat album foto Shana. Di situ semua foto dari Shana kecil hingga sekarang ada di album itu.
"Ini waktu aku pertama kali jalan, kecil banget, ya." Shana berujar sembari menunjuk foto.
"Dulu lo gendut banget, kok sekarang jadi kurus sih." Memang Shana dulu bertubuh gempal, namun semakin ia tumbuh badannya menyusut dengan sendiri.
"Ini pas lo masuk tk?" Naya menunjuk foto Shana yang memakai seragam berwarna ungu. "Iya, aku kecil banget ya. Gak kaya kamu tinggi"
"Aku heran sama orang yang bisa tinggi, makannya apa sih? Aku udah minum susu tiap hari masih aja segini gak nambah tinggi." Shana terkekeh.
"Makannya tumbuh ke atas bukan ke bawah." Meru mengejek Shana.
"Siapa yang tumbuh ke bawah! Aku tumbuh ke atas ya!" Shana tak terima dirinya di ejek.
"Kalo lo tumbuh kea tas, lo pasti bisa tangkap bintang." Meru terus mengejek Shana.
"Iya kalo aku dapet bintang, nanti aku lempar ke kepala kamu biar nanti kepala kamu banyak bintang-bintangnya."
"Udah kalian berdua. Lo juga Ru, gak bisa apa tuh mulut gak nyinyir mulu." Naya harus menengahi keduanya kalau tidak mereka akan terus bertengkar.
Mereka kembali melihat foto-foto Shana sewaktu kecil. Dari Shana pertama kali masuk SD hingga sekarang.
Namun satu foto menarik perhatiannya. Di foto itu ada dua anak kira-kira berusia satu tahun di gendong oleh seorang lelaki. Wajah keduanya tampak mirip walau tak benar-benar mirip. Bentuk hidung dan bibir kedua anak itu sama yang berbeda adalah kedua mata anak itu. Yang satu memiliki mata besar dan satu bermata kecil.
"Shana ini siapa?" Naya bertanya.
"Oh ini aku sama Ayah yang bayi yang satu lagi aku juga gak tahu," jelas Shana.
Naya sepertinya tidak puas dengan penjelasan Shana. Foto bayi perempuan itu tampak seperti dirinya sewaktu kecil. Tapi wajah bayi bisa saja sama satu sama lain. Mana mungkin dirinya di gendong ayah Shana. Mereka bukan kerabat apalagi saudara.
Naya terus memperhatikan foto-foto Shana. Naya menatap foto Shana dengan boneka beruang berwarna kuning yang suka memakan madu. Dulu dirinya juga memiliki boneka tersebut hingga saat ini boneka itu masih menjadi favoritnya. Kebetulan sekali mereka menyukai karakter boneka yang sama.
***
Kini ia sedang berdiri didepan sebuah toko. Toko itu sangat ramai dengan pengunjung bergantian masuk membeli. Aroma vanila tercium dari tempatnya berdiri. Sudah lama ia tidak berkunjung kemari. Setelah masalah itu ia tidak pernah datang kemari.
Entah dorongan darimana kini dirinya berada didepan toko itu. Melihat apakah orang yang ia cari ada didalam sana. Dinding kaca itu memudahkannya untuk melihat seisi toko. Namun, orang yang ia cari tak kunjung nampak.
Ia memutuskan untuk masuk kedalam. Ia berharap keberuntungan menimpanya agar dipertemukan dengan orang yang ia cari. Harapannya terkabul orang yang ia tunggu datang membawa beberapa nampan kue untuk dikemas.
Segera ia memesan agar bisa bertemu. Tak lama namanya disebut, segera ia berdiri mengambil pesanannya dan bertemu orang itu.
"Hai, Naya," sapanya membuat Naya terkejut. "Ngapain lo kesini?" Jawabnya dengan ketus. Sudah lama dia tak pernah kemari dan sekarang muncul dihadapannya.
"Cuma mau mampir ke rumah teman," jawabnya tersenyum.
"Teman? Lo bukan teman atau siapapun! Lo cuma orang asing yang kebetulan lewat di hidup gue."
"Sekarang mending lo ambil pesanan ini dan pergi." Naya mengusir dirinya.
"Aku pelanggan disini kamu harus melayani dengan benar. Pelanggan adalah raja."
"Gue gak nerima pelanggan kaya lo, cepet pergi!" Naya tetap mengusir dirinya.
"Oke, kalo kamu emang gak mau ketemu aku. Tapi aku harap kamu mau maafin aku juga." Setelah itu dirinya pergi meninggalkan toko itu.
"Maaf, Vano. Maaf," gumam Naya ketika melihat punggung itu menjauh.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Ineffable
Teen Fiction(TAMAT) Shana selalu di tindas Sandra ketika dirinya pertama kali masuk sekolah ini. Padahal dia tak pernah mengenal Sandra. Hingga dirinya bertemu dengan Naya dan Meru yang membantunya. Siapa sangka pertemuan mereka mengungkap sebuah rahasia di ant...