15. Luapan Emosi

21 5 0
                                    

Naya terus berlari pergi meninggalkan kantin. Ia tak perduli sudah berapa orang yang ia tabrak karena menghalangi jalannya. Yang terpenting dirinya harus segera pergi dari tempat itu.

Meru memasuki kelas. Diedarkan pandangan ke penjuru kelas, namun yang di cari tak nampak keberadaannya. Meru mengacak rambutnya kasar. Pikirannya kalut melihat Naya meneteskan air mata tadi. Sudah sejak lama ia tak pernah melihat Naya menangis. Terakhir Naya menangis karena ulah orang bodoh itu.

Meru berfikir ke mana Naya pergi. Seketika suatu tempat muncul dibenaknya. "Jangan-jangan dia kesana?" Meru segera pergi. Ia akan menyusul Naya.

***

Angin berhempus menerpa wajahnya. Mata itu terpejam menikmati segarnya udara di ruangan ini. Daun-daun hijau berserakan di semua penjuru.

Raganya sedang berdiri menatap jendela kaca yang besar. Namum pikirannya melayang jauh di masa semua masih terasa indah.

Ingatan itu tak pernah hilang dalam pikirannya. Tertanam dalam di hatinya. Sudah lama kejadian itu berlalu tapi ia belum bisa memaafkan.

Andai dirinya berani berkata yang sebenarnya mungkin semua ini tak akan terjadi. Seandainya, hanya itu harapannya kini tapi sepertinya harapan itu tak akan terwujud.

Meru sudah berada di lantai dua sekolah ini tepatnya di ujung koridor. Ia segera melangkah menuju pintu besi di ujung sana.

Dinding ruangan ini semua terbuat dari kaca. Semua yang ada didalam ruangan ini hampir terlihat jelas oleh Meru. Termasuk Naya yang sedang berdiri di dekat jendela.

Dugaan Meru tepat Naya sedang berada di sini. Sudah lama mereka tidak kemari. Meru membuka pintu besi itu perlahan.

Di tepuk pelan pundak rapuh itu. "Kalo kamu ada masalah aku akan selalu ada ingat itu." Naya membalikan badannya melihat Meru berada di hadapannya. Di rengkuhnya tubuh itu dalam dekapannya.

Naya menumpahkan semua bebannya selama ini di dekapan Meru. Ia tak peduli jika nanti Meru akan mengejeknya yang ia perlukan hanya tempat untuk mencurahkan persaannya.

Meru mengelus punggung itu pelan. Meru tahu apa yang dirasakan Naya sekarang. "Gue jahat Ru, gue jahat." Naya bergumam lirih.

"Gue salah, seharusnya gue gak ngelakuin itu." Suara itu terdengar rapuh dan pilu. Meru tak bisa membiarkan Naya seperti ini sudah berjanji akan membuat naya bahagia hingga akhir.

"Gak, Nay, lo gak salah. Ini semua demi kebaikan kita bersama." Naya menggeleng ia masih menangis didekapan Meru.

"Gue salah dari awal seharusnya gue gak milih itu. Gue yang salah."

"Denger Nay, lo gak salah. Gak ada yang bisa ngatur perasaan seseorang. Sekali pun orang itu tak menginginkannya tapi takdir yang akan bertindak."

"Tapi gue udah nyakitin perasaan orang, Ru. Gue jahat banget."

Meru menggeleng "Gak, Nay lo juga tersakiti di sini. Jangan egois sama diri lo sendiri. Yang lo lakuin udah bener."

"Gue akan selalu ada buat lo, inget itu Nay." Meru bersumpah ia akan selalu bersama dan membahagiakan Naya hingga akhir.

***

Shana duduk cemas di mejanya. Jam istirahat telah usai sepuluh menit yang lalu, namun Meru dan Naya belum menampakan wujudnya. Dimana mereka sekarang?

"Selamat siang, semua." Seorang guru memasuki kelas.

Shana menengok meja di sebelah kirinya. Ada yang terjadi dengan Naya? Mengapa dirinya sangat khawatir? Dia tidak dekat dengan Naya tapi mengapa ia merasakan dirinya terluka ketika melihat Naya menangis.

IneffableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang