31. The Truth

14 4 0
                                    

"Vano! Vano!"

Meru menahan bahu Revano agar tidak pergi. "Apa lagi?"

"Gue, mau jelasin sesuatu."

"Buat apa lagi? Selama ini gue udah di bohongi kalian. Gue ngerasa jadi orang bodoh tahu!"

"Gue, minta maaf. Gue harus jelasin biar gak salah paham."

"Gue gak butuh."

Revano menepis tangan Meru dibahunya.

"Demi Naya, gue mohon demi Naya lo dengerin penjelasan gue."

Revano memutuskan untuk mendengarkan penjelasan Meru. Kini keduanya berada di kantin rumah sakit.

"Sekarang, lo jelasin kenapa lo bisa tahu Naya kena kanker."

Meru menghembuskan nafasnya pelan. "Jadi..."

<Flashback_on>

Meru sedang menemani sang Bunda kemoterapi. Bundanya mengalami kanker hati stadium akhir. Meru selalu menemani sang Bunda ketika menjalani kemoterapi atau kontrol kesehatan. Ia tak ingin melewatkan momen bersama Bundanya, karena mungkin saja ini adalah momen terakhir ia dengan sang Bunda.

"Meru, kamu lebih baik tunggu di luar saja. Bunda bisa sendiri," ujar Bundanya lembut.

"Meru mau temenin Bunda, kalo Bunda kenapa-napa gimana?" ujar Meru karena khawatir.

"Bunda gak pa-pa kok sendiri. Sekarang kamu ke kantin aja, kamu belum makan kan?" Meru mengannguk. "Cepet sana!"

Meru akhirnya memilih menuruti kemamuan Bundanya. Lagipula ia memang lapar.

Di lorong tempat Bundanya akan melakukan kemoterapi, ia melihat seorang perempuan memakai baju putih abu di sini. Setahunya lantai ini diperuntukan untuk pasien pengidap kanker dan tumor. Jika benar gadis itu terkena kanker, sungguh malang nasibnya batin Meru.

Tapi semakin diperhatikan sepertinya Meru mengenal gadis itu. Ia mendekati gadis itu dan ternyata dugaannya tepat.

"Naya?"

Naya terkejut karena ada yang memanggil dirinya. Ia menoleh dan melihat Meru sahabat dari Revano mantan kekasihnya.

"Ngapain lo, di sini?" Naya tampak gugup dan gelagapan.

"Gue.."

"Gak mungkin kan lo kena kanker?" Tebakan Meru tepat. Naya diam memilin baju seragamnya.

"Gue tanya, apa lo kena kanker? Gak mungkin lo di sini kalo bukan ada sesuatu"

Naya akhirnya pasrah ia mengaku. "Iya, gue emang kena kanker. Kanker tulang."

Meru terkejut mendengar penuturan mantan kekasih sahabatnya. "Udah stadium berapa?"

"Tiga" sekali lagi Meru terkejut. Naya yang masih muda seperti dirinya terkena kanker stadium tiga.

"Apa mungkin, lo mutusin Vano karena lo kena kanker?" Naya hanya mengangguk ia tidak bisa lagi mengelak dirinya sudah tertangkap basah.

"Gue gak mau Vano sedih kalo tahu gue kena kanker" cicit Naya. "Gue gak tahu sampai kapan umur gue. Kalo gue suatu hari nanti meninggal Vano pasti sedih, gue gak bisa lihat dia sedih."

Sungguh luar biasa gadis dihadapannya. Ia rela menyakiti dirinya sendiri demi menjaga perasaan orang lain.

"Kenapa lo gak jujur aja. Gue yakin Vano bakal terima lo apa adanya."

"Gue gak bisa, Vano berhak bahagia. Biar gue yang menanggung semua ini. Vano gak perlu tahu."

"Tapi, Vano sayang banget sama lo. Lo tega lihat dia kaya gitu setelah kalian putus."

"Gue juga gak suka lihat Vano kaya gitu. Tapi suatu saat nanti gue yakin Vano bisa menemukan perempuan lain yang lebih baik dari gue."

Meru heran dengan jalan pikiran Naya. Jelas Naya masih sangat menyukai Vano, tapi mengapa ia rela melakukan semua ini. Menyakiti hatinya demi Vano.

"Gue gak ngerti jalan pikiran lo. Kalo lo, gak bisa kasih tahu, biar gue yang kasih tahu."

Naya menggelengkan kepalanya. "Jangan Meru, gue mohon jangan kasih tahu Vano."

"Gue gak bisa lihat sahabat gue menderita. Dia harus tahu yang sebenarnya" Naya mencekal lengan Meru. "Gue mohon rahasiain ini.  Semua ini demi kebaikan semua orang, demi Vano."

Meru baru pertama kali melihat Naya memohon seperti ini. Naya adalah wanita dengan ego besar dan harga diri tinggi. Dan sekarang Naya tengah memohon kepada dirinya.

"Gue mohon jangan kasih tahu Vano. Gue mau dia bahagia."

"Tapi gak gini caranya. Di sini lo dan Vano juga tersakiti."

"Lebih baik gue yang sakit daripada Vano. Lebih baik gue yang sakit daripada dia. Gue gak bisa lihat dia menderita."

Meru diam melihat Naya menangis didepannya. Ia tidak bisa melihat perempuan menangis dihadapannya.

"Oke, gue gak bakal kasih tahu. Tapi jangan nangis."

"Makasih Meru. Gue hutang budi sama lo."

Meru hanya mengangguk. "Satu lagi, gue mohon anggap kita gak pernah ketemu. Gue gak mau Vano tahu."

"Gue, gak bisa janji kalo itu. Gue gak bisa mengabaikan lo, gue tahu kondisi lo gue akan berusaha untuk menjaga sebisa mungkin."

"Gak Meru, jangan kaya gitu."

"Kalo itu gue gak bisa janji."

Setelah itu, Meru meninggalkan Naya. Ia akan berusaha melindungi Naya semapunya. Ia tahu bagaimana sulitnya mengidap kanker. Ia tak ingin Naya bernasib sama seperti ibunya.

<Flashback_off>

"Setelah kejadian itu, gue selalu berusaha jadi temen buat Naya. Tapi Naya selalu nolak, perlahan tapi pasti sekarang Naya sudah nerima gue jadi temennya."

Revan tentu saja merasa bersalah selama ini, ia berpikir jika Meru menghianati dirinya. Meru adalah sahabat terbaiknya, ia membantu dirinya dan Naya dari belakang, menyokomg dirinya.

"Gue merasa bodoh banget, gue udah salah paham sama kalian. Gak seharusnya gue egois dan merusak persahabatan kita." Meru tersenyum mendengar penuturan sahabatnya ini.

Sudah lama mereka tidam berbicara seperti ini. Keegoisan mereka menghancurkan persahabatan yang indah ini.

"Gue, minta maaf selama ini nyembunyiin semua ini. Gue gak mau Naya atau lo merasa tersakiti," ujar Meru. "Kita bisa jadi teman lagi, kan?"

Revan tentu saja mengannguk "Tentu aja, kita emang temen, kan?"

Kedua kini tertawa bersama melepas semua rindu selama ini.

"Ada satu hal yang mau gue tanya?" ujar Revan, "apa?"

"Lo, suka sama Naya?"

Meru membelakan matanya, bagaimana mungkin ia harus menjawab pertanyaan ini. Bisa hancur persahabatan yang baru saja kembali.

"Gue.."

***

IneffableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang