40. Surat Untuk Si Ketua Kelas

12 2 1
                                    

Meru kini sedang memperhatikan langit-langit kamarnya. Pikirannya melayang mengingat hal-hal yang menimpanya beberapa waktu lalu. Kepergian Naya yang sudah ia prediksi akan datang pun masih membebani pikirannya. Ia tak menyangka jika Naya akan pergi tanpa berpamitan kepada dirinya.

Perdebatan kecil di rumah sakit adalah interaksi terkahir dengan Naya. Jika saja Meru tahu, ia akan dengan senang hati memuji Naya. Tapi tak ada yang tahu bagaimana takdir Tuhan berjalan. Ia masih ingat dengan jelas kalimat terakhir sebuah permintaan kecil yang di ucapkan Naya..

"Tolong kasih setelah operasi gue selesai," begitu ujar Naya.

Naya memintanya memberikan dua kotak berukuran kecil kepadanya untuk diberikan kepada Revano dan Shana. Ia tak menyangka jika isi kotak itu adalah hadiah terakhir dari Naya. Tapi Naya tak meninggalkan sepucuk surat pun untuk dirinya. Ia kecewa dengan Naya karena tak ada kalimat perpisahan di antara mereka. Apakah dirinya tak berharaga di mata Naya? mungkin hanya dirinya yang menganggap Naya 'penting' di hidupnya.

Ia menganggap Naya bagian terpenting dalam hidupanya tapi sepertinya Naya tidak demikian. Naya mungkin hanya menganggapnya lalat yang mengganggu. Sejak awal Naya memang tidak menganggap keberadaan dirinya mungkin belakang ini Naya merasa lelah dengan tingakah Meru dan menerima keberadaannya.

Apalagi semenjak dirinya mengungkapkan perasaannya, Naya hanya menganggapnya angin lalu dan merasa tidak ada yang terjadi setelahnya. Tapi Meru memang salah, ia sudah tahu perasaan Naya yang tak akan berubah. Tapi tetap saja dia mengungkapkannya.

Meru mengacak rambutnya kasar. Ia merasa bodoh setelah menyadari tindakannya. Tak seharusnya ia mengungkapkan isi hatinya. Tapi jika ia tak mengutarakannya mungkin dirinya akan menyesal tidak mengatakannya. Ya, mungkin memang tindakannya tepat. Penyesalan selalu datang terakhir dan kini ia tak menyesal telah mengatakannya yang ia sesali hanya waktu yang begitu cepat berlalu.

Meru bangkit dari tempat tidurnya. Ia meraih tas sekolahnya. Sudah seminggu ia tak masuk sekolah. Ia akan merapikan isi tasnya. Tapi ada yang janggal ia melihat sebuah buku tebal berwarna putih. Meru nampak berpikir. Seingatnya buku itu bukan miliknya.

Buku itu berwarna putih berjudul 'The Miracle of Enzyme' karya Hiromi Shinya. M.D. Buku ini adalah buku kedokteran spesialis. Memang dirinya ingin menjadi dokter tapi ia belum pernah membeli buku tersebut. Siapa pemilik buku ini?

Meru menelisik buku itu dengan seksama dan ia ingat pernah melihat buku ini. Buku ini adalah buku yanh di baca Naya sebelum ia di operasi. Tapi mengapa buku ini bisa ada di dalam tas miliknya?

Meru membuka buku itu, di dalamnya terdapat memo di sana. Di memo itu tertulis 'semangat Meru' ia membalik halaman selanjutnya dan menemukan memo yang sama 'Dokter Meru pasti bisa'. Meru terus melihat isi buku tersebut dan setiap memo yang ada berisi kata-kata penyemangat untuk dirinya.

Di tengah buku ia melihat sebuah amplop. Di amplop itu tertulis namanya 'Alamsyah Mahameru' ia pun membuka amplop itu. Ternyata isinya sebuah surat.

Untuk Meru, Si ketua kelas
nyebelin ,sok ngatur hidup orang, dan pemaksa.

Kalimat sapaan itu membuat Meru tersenyum.

Apa kabar? Gue tahu lo pasti baik-baik aja kan?

Meru menggeleng seolah menjawab pertanyaan yang di tulis Naya.

Maaf ya, karena gue pergi tanpa pamit. Tapi gue gak mau kalo lo sedih. Masa seorang Mahameru nangis, kan gak lucu. Gue yakin lo gak akan nangis pa tahu gue pergi.

Meru hanya tertawa sengak. Selama Naya pergi ia tak pernah meneteskan air mata. Bahkan saat Naya diumumkan meninggal ia tak pernah menangis sedikit pun.

IneffableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang