Setelah Revano pergi suasana menjadi tegang. Kini mereka berada di pikirannya masing-masing. Tak ada yang bersuara hening.
"Naya, sebenarnya kamu dan Revan ada hubungan apa?" Shana bertanya dengan suara yang kecil hingga tak dapat di dengar.
Naya menghembuskan nafasnya. Mungkin ini waktunya untuk membuka kembali kotak Pandora nya.
<flashback_on>
Masa orientasi siswa adalah hal yang mengerikan bagi para calon siswa. Mereka akan di dandani seperti orang gila, memakai tali rafia di kepala atau memakai sepatu berbeda warna dan lainnya. Kini mereka tengah di jemur di bawah terik matahari. Semua mengeluh karena cuaca yang panas mereka sudah kelelahan karena seharian ini mereka mengikuti kegiatan yang cukup padat. Beruntung ini hari terkahir mereka.
"Gila panas banget, ngapain sih kita di suruh kek gini." Meru mengeluh.
"Kita sedang dilatih kekuatan mental dan fisik. Mengerjakan semua tugas yang diberikan adalah bentuk tanggung jawab sebagai manusia. MOS ini juga melatih kerjasama antara siswa yang lain juga menambah pengalaman dan juga teman. Jadi masih ngeluh tentang ini?" ujar orang di sampingnya masih dengan pandangan ke depan.
Meru kagum dengan orang disampingnya. Bagaimana mungkin dia masih berpikir positif di saat seperti ini. Sepertinya dia orang baik. Meru akan menjadikannya teman.
"Iya juga ya, kita gak boleh ngeluh soal ini. Di balik sesuatu pasti ada artinya." Orang disebelahnya mengangguk. "Nama lo, siapa?" Meru bertanya.
"Vano, Revano." Meru senang ia mendapatkan teman baru seperti Vano.
Vano dan Meru menjadi teman dekat walaupun mereka berbeda kelas, namum mereka tetap dekat. Pulang sekolah pun bersama. Mengerjakan tugas bersama dan lainnya.
Vano ini anak yang cerdas. Ia mendapat banyak perhatian dari guru-guru karena kepintarannya di kelas. Perempuan di kelas pun banyak yang mengagumi Vano sudah tampan pintar lagi. Tapi Vano ini cuek dengan perempuan tak jarang ia menolak dengan acuh pemberian mereka.
Suatu hari ia ditugaskan kelompok dengan teman sekelasnya bernama Anaya Putri. Vano tak pernah berbicara dengannya karena Naya panggilannya perempuan pendiam, tak banyak berbicara namun cerdas.
"Kamu Naya? Kita dapat tugas kelompok." Vano berbasa-basi dengan Naya. "Lo cari materinya biar gue yang bikin presentasinya." Setelah itu Naya tutup mulut kembali.
Vano tak bisa membiarkan ini, ia harus mengajak Naya berbicara. "Tapi aku belum ngerti materinya gimana kalo kita kerjain bareng pulang sekolah?"
"Gak mungkin anak yang dielu-elukan guru gak ngerti materi sepele kaya gini." Vano terdiam mendengar perkataan pedas dari mulut Naya.
Tak pernah ada perempuan yang menghinanya seperti ini. Sepertinya Naya gadis yang menarik, batin Vano.
Segala cara sudah ia coba, namun nihil. Naya tetap dingin seperi biasanya.
"Galau terus bro, lagi mikirin apa sih?" Meru datang.
"Gue bingung, kalo perempuan itu sukanya apa sih?"
Meru mengerutkan keningnya "Tumben lo nanya gitu?"
Vano berdecak. "Tinggal jawab apa susahnya."
"Gue juga gak tahu, tapi kalo menurut gue. Perempuan itu di kasih perhatian aja udah baper." Vano mempertimbangkan saran Meru, mungkin selama ini ia terlalu cuek juga mendekati Naya.
"Siapa sih perempuan yang udah buat sahabat gue ini mendadak oon?"
"Apa lo bilang? Belum pernah rasain jurus maut gue nih, anak." Vano langsung mengapit kepala Meru di ketiaknya. Seperti inilah persahabatan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ineffable
Teen Fiction(TAMAT) Shana selalu di tindas Sandra ketika dirinya pertama kali masuk sekolah ini. Padahal dia tak pernah mengenal Sandra. Hingga dirinya bertemu dengan Naya dan Meru yang membantunya. Siapa sangka pertemuan mereka mengungkap sebuah rahasia di ant...