19

2.3K 260 127
                                    

Pagi. Setelah sarapan, Boruto dan Shakeel pamit pergi. Sarada mengangguk membolehkan, ia dan Yedda mau menemani Shahid berenang hari ini.

Shakeel mengemudikan mobil yang mereka sewa dari pihak hotel. Menyusuri Jalan Pemuda dengan beragam kuliner di kanan kirinya membuat Boruto menelan ludah.

Sepertinya enak.

"Boruto, kita sudah sampai." Shakeel memarkirkan mobilnya di depan Masjid Agung Kauman Semarang. Bangunan bernuansa hijau yang menjadi tempat ibadah Umat Islam itu.

"Kenapa kita kesini, Shakeel?" tanya Boruto bingung. Shakeel sudah keluar dari mobil. Boruto mau tak mau mengikuti Shakeel.

"Rumahnya di dekat sini, Boruto. Kita akan menemui seorang ulama," jelas Shakeel. Boruto mengangguk, pura-pura mengerti.

Ulama? Kenapa ulama?

Shakeel berjalan di depan, sebagai pemandu. Lalu berhenti di sebuah rumah yang lumayan besar, bercat putih. Shakeel memencet bel yang ada di dekat pagar.

"Permisi," ujar Shakeel. Boruto hanya mengekori Shakeel, sambil mengaktifkan hands free penerjemah serta lensa kontaknya.

Tak lama kemudian sesosok wanita dengan gamis dan kerudung lebar merah muda membukakan pintu untuk mereka.

"Waalaikumsalam. Pak Shakeel, ya?" tanya wanita itu. Shakeel mengangguk.

"Iya."

"Itu, sudah ditunggu Bapak di dalam. Silahkan masuk," ujar wanita tadi, membukakan pintu dan mempersilakan Shakeel dan Boruto masuk.

Boruto mengekori Shakeel, matanya sempat menatap takjub taman depan yang didesain begitu unik dengan ukiran-ukiran kaligrafi arab di pajangan batu alamnya.

"Assalamualaikum," sapa Shakeel begitu masuk rumah. Boruto hanya terdiam, mengekori Shakeel yang berjalan tegap.

Di dalam ruang tamu itu sudah duduk seseorang yang mengenakan sorban putih dengan baju koko berwarna coklat muda. Memegang tasbih di tangan kanannya dengan mata terpejam.

Kharismanya berhasil membuat Boruto menelan ludah. Entah apa yang membuatnya begitu berwibawa, tapi Boruto bahkan mampu menunduk, tidak berani mendongak.

"Ini, silahkan duduk dulu." Wanita berkerudung merah muda tadi mempersilakan mereka duduk. Shakeel lalu duduk di sofa, diikuti oleh Boruto.

"Waalaikum," jawab sesosok kakek bersorban putih tadi. Kakek bersorban itu membuka matanya. Boruto taksir usianya mungkin akhir enam puluhan.

"Shakeel, ya?" Kakek itu memicingkan mata. Shakeel mengangguk.

"Bersama siapa?" tanya sang kakek, membuat Boruto mendongak.

"Albert Brighton, Bapak. Tapi dia kerasukan, jiwanya tertukar." Shakeel menjelaskan keadaan Boruto pada kakek tadi. Sang kakek hanya mengangguk pelan, menatap Boruto yang kini melihat ke arahnya.

"Panggil saja Pak Zubair, Boruto. Dia tahu tentangmu," ujar Shakeel, menyenggol pelan bahu Boruto. Boruto mengerjapkan mata.

"Pak Zubair, ya?"

"Kamu dari Jepang?" tanya Zubair, matanya menerawang bebas, namun Boruto tahu pertanyaan itu untuknya.

"Iya, Pak."

"Namikaze?" tanya Zubair lagi. Boruto mengangguk, membuat Zubair tersenyum tipis.

"Bagaimana kamu bisa ada disini?" tanya Zubair menginterogasi. Boruto melirik Shakeel yang hanya diam, tidak bantu menjawab. Boruto menyenggol bahu Shakeel bingung.

[END] The Brighton | BoruSara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang