Pemandangan pesisir Parangtritis di sore hari memang memukau. Semburat warna merah keunguan yang malu-malu muncul. Angin yang berembus membelai rambut sewarna terong milik Hannah, membuat rambut wanita itu berkibar indah dipandang mata.
Irven baru saja membeli cilok. Awalnya ia penasaran. Bentuknya bulat seperti mochi. Namun katanya berisi daging, dan diberi saus serta sambal kacang. Irven duduk menyebelahi Hannah yang memang ia suruh menunggu di tepian.
"Han, mau tidak?" tanya Irven, menyodorkan plastik berisi cilok yang diberi sambal kacang, kecap, dan saus. Ia menusuk satu cilok, dan menyodorkan tusuk itu pada Hannah.
"Apa ini, Honey? Ini mirip dango," tanya Hannah jujur. Bentuknya bulat, lalu tampak kenyal. Warnanya putih, bentuknya dibulat. Diberi saus seperti saus kacang. Tampak seperti mitarashi dango yang diberi saus kacang, bukan?
"Bukan, Han. Ini namanya cilok," beritahu Irven sambil menyuapkan sebutir cilok ke mulut Hannah. Hannah mengerjapkan mata, menerima suapan Irven, memasukkan cilok itu ke dalam mulutnya, mengunyahnya.
"Dango dari tepung beras, ini dari tepung tapioka," lanjut Irven lagi. Hannah yang sedang mencerna cilok berisi daging itu mengerjap-kerjapkan matanya.
Rasanya kenyal. Gurih. Lalu ada daging di tengahnya. Hannah tersenyum lebar saat cilok itu berhasil masuk melewati kerongkongannya.
"Enak," puji Hannah, senyumnya mengembang lebar. Irven menganggukkan kepala.
"Perutmu bagaimana? Masih terasa panas?" tanya Irven lagi. Seketika Hannah menghela napas panjang. Ia menyingkap blus yang ia kenakan, meraih tangan kanan Irven yang tidak memegang apapun, lalu menaruh tangan Irven di perut kirinya.
"Hangat, 'kan? Sekarang portalnya terbuka. Tinggal menunggu waktu saja, mungkin Kak Boruto dan Kak Sarada akan kembali. Ah, entahlah." Hannah menarik napas dalam-dalam, melepaskan rasa sesak yang memenuhi rongga dadanya. Irven tersenyum simpul. Tangannya mengusap perut istrinya lembut.
"Bagaimana? Enakan?" tanya Irven. Hannah tersenyum, menganggukkan kepala. Tangan kekar Irven yang kokoh. Lembut, fleksibel. Begitu pengertian, Hannah merasa beruntung bisa menikah dengan Irven. Di saat pria lain mungkin sibuk menyalahkan sang istri kalau tidak segera mengandung, maka Irven tidak.
Hannah tersenyum, tangan kanannya meraih tangan kekar Irven yang mengelus perutnya, lalu memasukkan jari-jemarinya ke sela-sela jemari kokoh Irven, menggenggamnya erat.
"Terima kasih, Irven."
Irven menoleh, menatap Hannah yang kini menatapnya penuh binar-binar haru. Irven menganggukkan kepalanya mantap, membalas genggaman jemari Hannah yang menggenggam tangannya erat.
"Sudah tugasku, Han. Memastikan istriku baik-baik saja. Tapi, terima kasih juga, karena sudah menjadikanku suamimu." Irven tersenyum manis, meletakkan bungkus cilok yang ia pegang di belakang tubuh Hannah. Tangan kiri Irven menelusup ke perpotongan leher Hannah, menarik kepala Hannah mendekat ke arah wajahnya.
Hannah tersenyum tipis saat bibir Irven menyentuh keningnya. Pria putih pucat itu mengecup kening sang istri lembut, dengan tangan satunya yang masih menggenggam erat telapak tangan Hannah.
Irven menjauhkan bibirnya dari kening Hannah. Kini pria pucat itu mendekatkan lisannya pada telinga istrinya yang tertutup helaian rambut sewarna terong.
"Mari kita berdoa agar semua ini cepat selesai, Han." Irven berbisik mesra, membuat seulas senyum kembali terbit di wajah ayu Hannah. Hannah perlahan menganggukkan kepala.
"Maafkan aku karena membuat kita semua mengalami ini. Tetaplah bersamaku, Irven. Setelah semuanya selesai, mari kita bangun keluarga yang bahagia." Hannah membalas ucapan suaminya. Irven tertawa kecil, mengangguk mantap.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] The Brighton | BoruSara
Science FictionNamikaze Boruto dan Uchiha Sarada yang bersahabat dari kecil menolak perjodohan yang orangtua mereka buat. Pertengkaran mereka membuat mengalami kecelakaan yang membuat mereka berpindah ke dunia lain, dimana mereka menjadi sepasang suami istri bangs...