40

2.6K 245 338
                                    

yang sudah baca part ini, bisa langsung ke part 41. Ini diunpub karena eror. Thank you ❣️

-


anw thank you untuk FinaSinga mehirayyena yang sudah mendengarkan curhatan Ilma lalu memberi sesuatu tentang how to understand our self untuk chapter ini.

-

Dari setiap peristiwa, selalu ada lubang hitam yang membuat kita bertanya-tanya, kenapa rahasia itu harus ada?

Dari setiap kejadian, selalu ada titik dimana kita jadi bertanya, kenapa selalu ada rahasia?

Albert menundukkan kepala saat Irven menatapnya nyalang. Hannah memang tidak kenapa-napa. Tapi Irven masih marah pada Albert. Ya, walau pun Hannah sudah memaafkan kakaknya. Dan Albert pun maklum.

Dilihat dari sisi mana pun, memang ia yang salah.

Sarah bersama Yedda memilih menjauh, membiarkan para pria menyelesaikan masalahnya sendiri. Yedda paham, Sarah hanya mendukung suaminya. Maka segala keputusan ada di tangan Albert. Biar ini menjadi masalah antara kakak dan adik. Sarah tidak akan ikut campur.

Walau dari sudut hati Sarah yang paling dalam, wanita itu juga merasa bersalah. Tapi Sarah tahu, Albert berniat baik. Suaminya berniat baik. Hanya saja memang, caranya kurang ciamik.

Tapi bukankah takdir adalah takdir? Yang sudah terjadi, biarlah terjadi. Kita bisa apa kalau Tuhan sudah berkehendak?

"Maaf, Irven, Hannah." Suara Albert menggema di ruangan VVIP yang kini ditempati Hannah. Irven berdesir hebat. Pria pucat itu melirik ke kanan atas, menahan agar air matanya tidak jatuh.

Shakeel hanya berdiri di sudut ruangan, berjaga-jaga kalau-kalau Irven lepas kendali. Itu berbahaya.

"Aku memang salah, maaf." Ini sudah kesekian kali Albert meminta maaf. Kepala kuning pria itu tertunduk.

Pemilik perusahaan teknologi serta hak paten teknologi nomor satu di dunia itu menundukkan kepalanya sungguh-sungguh. Ini memang salahnya. Ia sudah ditegur oleh Penguasa Pantai Selatan kemarin.

Kita ini manusia. Kita ini makhluk. Jangan melewati batas kita sebagai manusia. Jangan sombong.

Irven mengepalkan tangannya kuat-kuat. Ia menahan agar tangannya tidak langsung menampar rahang tegas sang kakak ipar. Otot matanya tak kuasa lagi membendung air mata yang kini sudah meluncur bebas membasahi matanya.

Hannah yang berbaring di ranjang hanya memejamkan mata mendengar percakapan kakak dan suaminya.

Ia sudah ikhlas.

Ia sudah mengikhlaskan semuanya.

Semua yang terjadi itu kehendak Tuhan. Ia sudah ikhlas. Ia sudah pasrah.

Namun, namanya salah tetap salah, bukan? Kakaknya juga tetap harus meminta maaf, walau Hannah sudah memaafkan.

"Bertobatlah atas nyawa anak-anakku yang sudah berada di surga, Albert." Irven tertawa getir. Matanya menatap nyalang Albert yang tak berani mendongak. Rambut pirang pucat Irven bergoyang pelan. Pria itu mengusap air mata yang membasahi pipinya.

[END] The Brighton | BoruSara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang