38

2.1K 270 263
                                    

Irven mendekap Hannah dalam gendongannya. Pria putih pucat itu kalut tak karuan. Wajahnya semakin memucat cemas. Ia tahu istrinya kuat, tapi istrinya sedari tadi masih belum sadarkan diri.

Ia tak sanggup kehilangan istrinya.

Ia berlari sepanjang koridor rumah sakit tanpa memedulikan teguran Shakeel yang menyuruhnya meletakkan tubuh Hannah di brankar rumah sakit. Tidak. Ia tidak mau.

Wajah pucat Hannah ia benamkan pada dada kirinya, tepat di bagian jantung pria pucat itu.

Hannah harus hidup.

Sinar yang muncul di perut Hannah telah sirna. Segel itu menutup sempurna. Namun bagaimana dengan kandungan Hannah? Irven menundukkan kepala takut. Ia tak ingin Hannah kenapa-napa.

Sudah cukup ia menyaksikan malam-malam dimana Hannah menatap purnama dengan pandangan kosong, teringat bagaimana bayi-bayinya meninggal dalam kandungan. Bayi-bayi yang bahkan belum pernah ia temui. Janin-janin yang mereka harapkan selalu. Buah hati yang mereka tunggu-tunggu.

Irven mungkin tidak masalah kalau harus menunda mempunyai anak. Tapi bagaimana dengan Hannah? Bagaimana kalau mental wanita itu terguncang? Bagaimana kalau ia depresi? Irven tidak sanggup melihat Hannah putus asa. Irven tidak sanggup melihat Hannah menangis frustrasi. Irven tidak sanggup melihat Hannah yang berjalan tanpa jiwa.

Karena bagi Irven, Hannah adalah belahan jiwanya.

Hannah adalah setengah dari hidupnya.

Bila Hannah tidak ada, maka separuh jiwanya pun pergi.

"Bapak Nicholas Clark Irven? Maaf, Bapak bisa taruh Ibu Hannah disini." Dokter paruh baya itu menunjuk brankar. Dokter suruhan Shakeel itu sengaja mencegat Irven agar pria itu tidak terlalu jauh.

Irven menggelengkan kepalanya, mempertahankan Hannah dalam dekapannya.

"Aku yang akan mengantarkannya sendiri, Dokter. Jangan halangi aku." Irven menajamkan matanya. Dokter itu menggeleng tegas.

"Maaf, Bapak Irven. Protokol rumah sakit kami mengharuskan pasien disterilkan terlebih dahulu. Terlebih Ibu Hannah sedang mengandung. Tolong percayakan pada kami, Pak." Dokter itu memberi kode mata pada perawat dan petugas keamanan.

Irven meneteskan air matanya frustrasi. Petugas keamanan itu memegangi tubuh Irven, sementara perawat memindahkan tubuh lemah Hannah pada brankar rumah sakit untuk diperiksa lebih lanjut.

"Terima kasih, Bapak Irven. Bapak bisa duduk di kursi sambil mengurus administrasi. Kami akan hubungi Bapak setelah pemeriksaan."

Irven tak menghiraukan ucapan dokter tadi, kini ia berdiri lemas di tengah koridor rumah sakit, menatap brankar berjalan berisi tubuh Hannah yang terkulai lemah. Irven menatap brankar dengan tatapan hampa. Tubuhnya begitu lemas. Kakinya sudah berubah seolah menjadi jeli.

Pandangan aneh orang lalu-lalang tak ia pedulikan. Irven tanpa sadar menekuk kakinya, berlutut lemas di atas lantai rumah sakit yang begitu dingin. Air matanya jatuh membasahi pipi pucatnya. Bibirnya terkulum, napasnya tersengal. Lisannya tergugu. Lidahnya kelu. Mata sewarna semburat hijau musim semi itu tampak begitu sayu.

"Hannah, I don't know what to do without you."

Di sisi lain, Shakeel menghela napas panjang. Boruto dan Sarada menghilang. Gelombang kencang tadi berpotensi tsunami. Kemungkinan besar Boruto dan Sarada sudah mengungsi, atau yang paling buruk adalah mereka sudah mati karena tenggelam dan kehabisan napas.

Yedda mendekap Shahid dalam gendongannya. Shakeel dari tadi sibuk menelepon, mengerahkan orang untuk mencari jasad sahabatnya. Suasana rumah sakit khusus itu tampak lengang. Rumah sakit swasta yang kebetulan menggunakan teknologi buatan Shakeel dan Albert itu langsung memberi mereka tempat khusus begitu tahu adik dari Albert Brighton terluka.

[END] The Brighton | BoruSara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang