29

1.9K 221 161
                                    

Selesai berbelanja, waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Memang, wanita kalau sudah belanja, tidak bisa dinalar.

Sarada memilih duduk di kasur, membuka tirai dalam kamar hingga tersisa tirai tipis berwarna putih.

Senja.

"Bolt, sini. Duduk," perintah Sarada sambil menepuk-nepuk kasur tempat ia duduk. Boruto yang datang dengan segelas jus jeruk melempar senyumannya pada Sarada.

"Ada apa, hm?"

"Sudah lama sekali, kita tidak melihat senja, Bolt." Sarada menunjuk jendela. Semburat merah kejinggaan bercampur ungu membuat efek prisma sempurna di langit senja Kota Solo.

Boruto duduk menyebelahi Sarada, lalu merangkul bahu Sarada yang terbalut baby doll berwarna putih tulang.

"Indah, ya?" tanya Sarada. Boruto menganggukkan kepala, menyetujui ucapan Sarada.

"Tapi ada yang lebih indah," celetuk Boruto iseng. Sarada menoleh, menatap safir Boruto lekat-lekat.

"Apa yang lebih indah dari senja?" tanya Sarada, matanya mengerjap-mengerjap. Telapak tangan Boruto nakal mengelus lengan Sarada lembut.

"Namikaze Sarada."

"Maksudnya?" Pipi Sarada bersemu merah. Ia ingin memastikan bahwa ucapan Boruto bukan hanya iseng belaka.

"Tidak. Tidak apa-apa, tadi aku cuma iseng."

Dan Sarada pun melempar tatapan tajamnya.

Shakeel menatap Yedda yang berbaring kelelahan di atas kasur. Perburuan Yedda menghasilkan empat paperbag berisi baju-baju batik beragam motif. Baju couple, kata Yedda. Ia membeli beragam baju motif batik untuk sekeluarga.

Hihi. Shakeel iseng, mengeluarkan ponselnya. Lensa kontak itu memang multifungsi, hanya saja ponsel lebih familiar di tangannya.

"Nah, satu, dua, cekrek!" Shakeel memotret diam-diam wajah tidur sang istri yang begitu lucu di matanya.

Dengan mulut sedikit terbuka, dan suara-suara gaib yang berasal dari mulut Yedda. Ah, Shakeel tak tega hati untuk sekadar membangunkan istrinya. Yedda pasti lelah.

Mengurus Shahid yang kelewat hiperaktif, mendampinginya sebagai istri seorang ilmuwan terkenal. Yedda itu wanita hebat. Sangat hebat.

Lama-lama kedua sudut bibir Shakeel terangkat tanpa sadar.

Ia tersenyum, memerhatikan sosok ibu dari anak semata wayangnya yang tertidur begitu lucu.

Tapi sayangnya lamunannya harus terinterupsi oleh telepon dari pria berambut pirang pucat dan kulit putih pucat.

"Ada apa, Irven?" tanya Shakeel pelan, takut membangunkan Yedda.

"Kemarilah, Shakeel. Ke kamarku. Ada hal penting."

"Mendesak, tidak?" ulur Shakeel. Irven meninggikan nada bicaranya.

"Lebih dari mendesak, Shakeel. Aku tidak tahu harus bahagia atau bersedih."

Mendengar kata itu, Shakeel buru-buru memastikan Shahid dan Yedda aman, lalu bergegas keluar dari kamar mereka menuju kamar Irven dan Hannah.

Ini, benar-benar tidak menyenangkan.

"Tidak usah basa-basi, Irven, Hannah. Apa yang kalian mau bicarakan?" Shakeel menatap sepasang suami istri di hadapannya dengan tatapan menelisik. Hannah menghela napas panjang, merogoh sakunya, mengeluarkan benda pilih berwarna putih-biru muda dan menaruhnya di meja.

[END] The Brighton | BoruSara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang