Bila kemarin gue kebagian tugas melipat dan mengisi kulit sambosa menjadi segitiga berisi daging pedas, maka pagi ini gue kebagian menaruh potongan cinnamon roll ke dalam mika kecil untuk kemudian disiram saus coklat.
Tepat jam delapan pagi semua pesanan sudah masuk mobil dan siap diantar. Sebelum memulai kerjaan berikutnya, kami dipersilahkan sarapan bersama yang telah disiapkan oleh asisten rumah tangga Malit. Yang bikin gue kagum, Malit justru ikut lesehan bersama para karyawannya yang berjumlah tujuh belas orang dan dua ART. Kami semua berbaur seperti teman, tidak telihat perbedaan antara majikan dan karyawan.
Gue agak kesulitan mengikuti cara makan mereka yang makan menggunakan tangan. Dari kecil gue udah di dikte table manner ala Perancis. Mana sendok yang harus digunakan untuk appetizer, main course dan dessert. Belum ada dalam sejarah gue, makan menu utama menggunakan tangan. Sekalipun saat makan daging, kami justru menggunakan pisau untuk memudahkannya.
"Bule! Kamu vegetarian?" tegur Malit saat melihat isi piring gue hanya nasi, daun selada, terong goreng tepung dan sambal terasi.
"Enggak kok," sahut gue sopan.
"Kenapa nggak ambil bebek gorengnya? Enak loh, masakan dari dapur Kalita Soediryo nggak kalah deh dari restoran Papamu. Cuma kalau masakanku khas dengan kearifan lokal. Bener nggak?" Malit meminta persetujuan dari para karyawannya yang disambut dengan koor panjang.
Gue menggaruk tengkuk bingung. Gue nggak enak buat nolak, tapi gue juga bingung gimana caranya makan bebek goreng menggunakan sendok?
"Nih udah mbak suwirin buat kamu, jadi kami bisa makan pakai sendok," mbak Rida menyodorkan piring berisi daging bebek yang telah disuwir kecil-kecil buat gue.
"Lui mah nggak biasa makan pakai tangan kayak kita. Orang dia biasanya makan dengan tatacara ala kerajaan," jelas mbak Rida yang membuat gue nyengir malu.
Malit menepok jidatnya dengan tangan kirinya. "Oalah, kita lupa kawan-kawan, si bule ini kan emang aslinya konglomerat. Ya udah, biar dia makan dengan caranya, kita dengan cara kita."
Sekali lagi gue nyengir malu pada semuanya. Mereka menatap gue dengan tatapan maklum bahkan memaksa gue untuk makan di meja makan, padahal semua orang lesehan di lantai. Gue tadinya mau nolak, tapi mbak Rida kasih peringatan agar segera makan karena sebentar lagi kami akan lanjut bekerja. Gue pun makan dengan tenang. Namun, baru beberapa suap, gue merasa ada yang sedang memperhatikan gue. Dengan canggung gue menoleh dan ternyata Malit dan beberapa orang sedang menatap gue lamat-lamat.
"Eh"
Malit memalingkan diri menghadap karyawannya. "Emang beda ya kalau putri tuh. Makan aja anggun banget, berasa lihat cucu Ratu Eliza."
"Emang udah pernah ketemu Ratu Eliza?" tanya seorang dari mereka.
"Ya belum," sahut Malit nyengir.
"Huuuu!" semua serempak berteriak.
Gue hanya tertawa menanggapi celotehan mereka. Sepertinya mereka semua orangnya asik, bahkan Malit sekali pun. Meski gue belum bisa menghapal semua nama mereka, tapi mereka tetap baik dan ramah sama gue. Usut punya usut, ternyata Malit memang mewanti-wanti sekali agar para karyawan tetap akur dan kompak. Dari cerita mbak Rida, Malit orangnya sangat tegas mengenai kerukunan karyawan. Bila ada yang cek-cok, Malit akan menanyakan alasan mereka satu per satu, lalu akan menawarkan damai. Bila kesepakatan damai tidak terlaksana, maka Malit tak segan untuk mengeluarkan semua yang terlibat. Kata Malit, dia lebih suka capek karena ngerjain semua sendiri daripada capek lihat karyawannya nggak akur. Hmm, bener juga sih.
***
Sebulan pertama gue bekerja, gue selalu dapat bagian yang paling mudah. Mungkin karena mereka masih menganggap gue anak bawang, jadi mereka belum berani ngasih gue tugas penting. Mereka belum tahu aja kalau gue dari piyik udah sering masuk dapur.

KAMU SEDANG MEMBACA
Chef Lui
RomansaLuishara sudah lama ingin menyerah dengan kehidupannya yang kacau akibat ulah ayahnya, hingga dia harus mengubur mimpinya untuk menjadi chef. Tapi, bagaimana pun dia berusaha, pada akhirnya dia tetap kembali pada keluarga dan kehidupannya yang menye...