Marah

1.5K 188 0
                                    

Ervin menjadi lebih sering main ke rumah semenjak gue mengajak dia pulang. Gue antara kesal dan senang sekaligus melihat Ervin keluar masuk rumah gue. Kesal karena Ervin terus muncul di sekitar gue, senang karena rumah jadi lebih meriah dengan kehadiran Ervin. Bahkan sekalipun gue lagi nggak di rumah, Ervin akan tetap datang ke rumah untuk mengajak Papa ngobrol, ataupun untuk bermain PS sama Dave. Dua orang itu menjadi sangat akrab.

Awalnya gue hampir selalu ngusir Ervin saat gue menemukannya di rumah tiap pulang kerja. Namun, ketika gue melihat betapa cerianya orangtua dan adik gue, lambat laun hati gue seolah luluh. Gue hanya melewatinya menuju kamar gue. Seenggaknya kalau gue nggak suka, gue tinggal skip aja, nggak perlu mengusik kesenangan keluarga gue. Terlebih melihat Dave yang kini menjadi lebih hangat dari sebelumnya, gue seperti menemukan kembali adik kesayangan gue yang tengil, yang sebelumnya menghilang entah ke mana.

Kehadiran Ervin juga lebih membantu Papa dalam proses penyembuhannya. Kini bahkan Ervin sudah bisa mengobrol dengan Papa tanpa bantuan Mama, malah dia sering meledek gue yang kadang nggak ngerti sama apa yang Papa ucapin.

Rese emang!

Hari ini gue pulang pukul satu siang setelah dua malam menginap di rumah Malit. Pesanan yang super banyak membuat tulang punggung gue terasa hampir patah karena kelamaan berdiri. Seperti biasa, saat masuk rumah gue akan langsung mencari keberadaan anggota keluarga gue. Berhubung Dave masih sekolah, maka gue langsung menuju kamar Mama karena gue nggak melihat orangtua gue di mana pun.

"Ma, Pa, aku udah pulang!" seru gue sambil mengetuk pintu. Tak ada sahutan dari dalam, bahkan saat gue mengeraskan suara dan ketukan pintu.

Dengan curiga gue mencoba membuka pintu kamar Mama yang ternyata nggak dikunci secara perlahan. Mata gue memindai kamar paling luas di rumah ini. Kosong. Gue mengecek kamar mandi dan kosong juga. Segera gue berlari mengecek ruangan satu per satu hingga ke lantai dua dan gudang, semuanya kosong. Lalu gue mencari ke seluruh penjuru taman yang tetep nggak gue temukan keberadaan orangtua gue. Kepanikan melanda gue hingga tanpa sadar air mata gue meleleh begitu aja.

Gue takut mereka dibawa oleh penagih hutang dari Bank. Mana mereka nggak punya ponsel yang bisa gue hubungi. Selama ini, karena mereka nggak pernah keluar selain ke rumah sakit, gue merasa belum perlu memberi mereka ponsel karena gue bisa menghubungi setiap saat lewat telepon rumah. Tapi kalau keadaannya jadi begini, gue mau menghubungi siapa?

Pikiran gue buntu, gue nggak punya petunjuk sama sekali tentang keberadaan orangtua gue dan gue nggak berani telfon Dave, karena hal ini pasti akan ganggu konsentrasi belajarnya. Gue udah keliling komplek dan menanyai setiap orang yang gue temui, dan mereka menjawab tidak tahu menahu.

"Cek cctv aja nak Lui, pasti ketahuan mereka pergi sama siapa."

Begitu, saran dari tetangga sebelah yang rumahnya nggak kalah besarnya sama rumah gue. Masalahnya, cctv di rumah gue udah lama nggak aktif. Gue mana mampu bayar biaya perawatan tiga belas cctv yang tersebar di berbagai penjuru rumah dan halaman. Sekarang gue hanya bisa duduk di ruang tamu sambil terus berdoa suapaya mereka dalam keadaan baik-baik aja. Gue sangat khawatir, terlebih dengan kondisi Papa dan Mama yang juga jadi lebih lemah daripada dulu.

Ditengah kekalutan selama dua jam menunggu kabar mereka, gue mendengar suara mobil yang memasuki halaman rumah. Gue mengintip dari jendela dengan waspada. Mobil yang gue kenali punya Ervin itu berhenti di depan tangga teras. Dan jantung gue hampir copot saat gue melihat Mama turun dari mobil Ervin, begitu juga dengan Ervin yang kini tengah membantu Papa keluar dari mobil. Melihat itu gue lekas menghampiri mereka dengan nafas memburu. Setelah Papa duduk di kursi roda, Mama yang bersiap mendorongnya pun menoleh menyadari kehadiran gue.

Chef LuiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang