Terciduk

1.4K 172 4
                                    


Gue menghidangkan masakan buatan gue di meja dengan perasaan dongkol. Terlebih saat melihat Ervin dan Dave berjalan beriringan dengan senyum tengilnya. Mood gue beneran rusak gegara kelakuan mereka tadi.

"Akhirnya, setelah nunggu satu abad. Jadi makan juga," sindir Dave.

Andai Mama sama Papa belum di sini, pasti udah gue gaplok tuh kepala!

Gue menunggu Mama selesai mengambilkan nasi buat Papa dan buat dirinya. Barulah gue menyendokkan nasi ke piring gue sendiri. Saat gue akan menyendok udang, sebuah piring melayang di depan muka gue.

"Ambilin nasi dong," pinta Ervin tanpa tahu malu. Memang posisi Ervin yang ada di sebelah kiri gue membuatnya agak kesulitan menyendok nasi. Tapi harus banget minta ke gue? Kenapa nggak Dave aja?

"Ambilin, Dave!" suruh gue ke Dave sambil melanjutkan aktifitas gue.

"Yang di suruh kan elo, yang deket Kak Ervin kan elo. Kenapa minta gue deh?"

Gue baru akan membalas protesan Dave, kalau saja gue nggak melihat kode dari Papa. Dengan terpaksa gue mengambilkan nasi beserta lauknya untuk Ervin. Berasa jadi bininya aja gue. Untung Derry nggak lihat, bisa gawat urusannya.

"Makasih, Luishara," ucap Ervin tersenyum yang diikuti Mama dan Papa ikut tersenyum pula.

"Hmm"

Setelah kenyang, Ervin bukannya segera pulang malah minta ijin buat ke kamar Dave. Ini yang gue nggak suka dengan melibatkan Ervin di kegiatan gue, karena Ervin tuh orangnya suka ngelunjak. Lihat sekarang, dia nggak hanya ikutan makan di rumah gue tapi juga main ke kamar Dave. Tapi ya masa bodohlah, terserah dia.

Karena jam kerja gue besok sangat fleksibel, maka malam ini gue bisa berlama-lama ngobrol sama Derry tanpa takut bangun kesiangan. Dengan cepat gue membereskan urusan dapur agar bisa lekas ke kamar. Gue terlalu nggak sabar pengen ngobrol lagi sama Derry. Ponsel gue emang masih sama Dave, tapi itu urusan gampang.

Begitu selesai gue langsung menuju kamar Dave untuk meminta ponsel gue kembali. Dia udah kayak guru BK aja main sita ponsel.

"Dave, balikin hape gue!" teriak gue di depan pintu kamarnya. Gue males masuk karena di dalam sudah pasti ada Ervin.

Nggak lama kemudian pintu kamar Dave terbuka, menampilkan sosok Ervin. "Dave mana?"

"Lagi boker," jawab Ervin santai.

"Dih!"

Gue segera melesat masuk dan mulai mencari ponsel gue. Karena nggak menemukan di mana pun, gue pun menggedor pintu toilet Dave.

"Dave, hape gue di mana?!"

"Di sini, Kak," sahut Dave dari dalam sana.

"Lah ngapain hape gue dibawa masuk ke situ?"

"Ya tadi kan ... tadi kan gue masuk enghh kin ke saku enghh celana yang gue pakai ini," Dave menjawab sambil mengejan.

Perut gue berasa mual seketika. "DAAAVE, JIJIK BANGET SIH LO!!!"

Gue beringsut mundur dari pintu. Ervin sudah tertawa guling-guling di karpet, begitu juga dengan Dave yang tertawa menggelegar di dalam sana.

Ya ampuunn, punya adek kok somplak banget! Untung cuma satu, nggak kebayang kalau banyak.

"Buruan Dave, gue butuh hape gue!" seru gue semakin keras.

"Lo masuk aja, Kak. Nggak gue kunci kok," teriak Dave dari dalam.

Ewhh

Ervin tertawa semakin keras sedangkan gue merasa semakin dongkol.

"Sabar, sabarr. Gue sabar kok punya adek nggak tahu diri kayak dia," gue bermonolog menenangkan diri.

Chef LuiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang