Masak Bersama

1.6K 219 8
                                        

Hari minggu ini Malit kembali menugaskan gue di luar urusan dapur. Yaitu untuk ikut mengantar kepergian Raisa menuju Jepang, tentunya atas permintaan Raisa. Selama di sini Raisa memang lengket banget sama gue, apa-apa harus sama gue. Selalu buntutin gue kemana-mana, sampai diusir oleh mbak Rida karena kehadiran Raisa mengganggu aktivitas memasak gue.

Tidak ada drama tangis-menangis ala sinetron sewaktu di bandara. Malit justru mengomeli Raisa yang masih semangat ngobrol sama gue, padahal sudah waktunya dia masuk. Kata Malit, sayang duitnya kalau Raisa sampai ketinggalan pesawat.

Benar-benar seorang ibu sejati.

Setelah Raisa masuk, kami berempat keluar menuju tempat parkir. Malit menyuruh gue agar langsung pulang, karena hari ini karyawan hanya bekerja hingga tengah hari. Tapi, bukan berarti gue bisa pulang dan duduk santai bersama Mama dan Papa di taman belakang. Karena Ervin menyeret gue untuk ikut ke mobilnya, kebetulan tadi Ervin bawa mobil sendiri.

"Gue laper," ucap Ervin saat kami sudah di dalam mobil.

"Ya makanlah!"

"Tugas lo masakin buat gue," Ervin mengingatkan.

"Ya masa gue ke rumah Malit cuma buat masakin elo, Vin?" gue mana enak sama Malit. Apalagi gue yakin, Malit nggak akan membiarkan gue lolos begitu aja, dia pasti akan godain gue habis-habisan.

"Kita masak di kantor gue," saran Ervin.

"Yah yang ada bakal jadi gosip di antara orang kantor lo," gue menggeleng.

"Kita masak di rumah gue aja," putus gue kemudian. Hari ini gue emang belum masak buat orang rumah, karena gue pikir gue akan pulang sebelum tengah hari.

Ervin menatap gue terpana, untung aja kita lagi berhenti karena lampu merah. "Lui, lo mau ngenalin gue ke orangtua lo? Secepet ini? Gue bahkan belum beli cincin."

Mata gue melebar mendengar perkataan Ervin. Spontan gue memukuli Ervin membabi buta. Gue rasa gue harus memukul kepala Ervin keras-keras, agar pikirannya lurus dikit, nggak belok melulu.

"Aww... Lui, sakit Lu!" erang Ervin yang mencoba menghindar dari pukulan gue.

"Biarin! Sapa tau setelah gue pukulin otak lo jadi waras!" geram gue.

"Lo mukulnya pundak gue, mana nyambung sama otak," Ervin terus mengelak.

Maka dengan sedikit menyondongkan tubuh, gue mengambil ancang-ancang untuk memukul kepala Ervin. Tangan gue mengayun ke arah kepala Ervin. Tapi secepat kilat, Ervin berhasil menghindar dan langsung menabrak tubuh gue. Gue yang terkejut terlambat sadar bahwa kini gue berada di pelukan Ervin. Ternyata saat gue mengambil ancang-ancang tadi, Ervin menggunakan kesempatan itu untuk membuka sabuk pengamannya, hal itu luput dari perhatian gue.

"Ini balasan buat lo karena berani mukulin gue," bisik Ervin tepat di telinga gue yang bikin gue merinding.

"Lepasin, Vin!"

"Serang gue sekali lagi, maka gue nggak akan ngelepasin elo," Ervin melepaskan pelukannya.

Sontak gue mundur hingga mentok ke mobil. Sumpah, gue takut dengan ancaman Ervin. Gue masih inget waktu Ervin membawa gue tidur sekasur dengannya. Meski menurut pengakuannya, dia nggak ngapa-ngapain, tapi gue tetep merinding bila mengingat hal itu.

"Oke chef Lui, kita akan masak apa?" Ervin kembali memasang sabuk pengamannya.

Gue memberi tahu apa yang akan gue masak, Ervin tidak banyak protes. Dia hanya menambahkan beberapa makanan yang disukainya. Tapi, hal itu berarti kita harus belanja terlebih dulu. Karena stok di dapur gue tidak sekomplit permintaan Ervin. Semenjak Papa bangkrut, kita benar-benar makan seadanya. Meski gue harus tahan melihat ekspresi murung keluarga gue saat gue hanya menyajikan nasi dan sop. Dave yang paling cepat beradaptasi dengan makanan yang gue sediakan, dia bahkan sesekali membantu gue memasak. Ya, kalau duduk sambil ngasih intruksi ini-itu bisa dibilang membantu.

Chef LuiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang