Melindungi Hati

1.3K 155 0
                                    

Sepanjang perjalanan pulang gue terus bergelut dengan pikiran gue. Sengaja gue memilih duduk di kursi paling belakang dengan alasan mau tidur, sementara Dave duduk di depan di samping Eriya untuk berjaga-jaga kalau Eriya minta gantian nyetir.

Semua yang diucapkan Ervin dan Dave terus terngiang di kepala gue. Gue merasa tersinggung oleh teguran mereka. Apa gue memang sepicik itu? Apa salah kalau gue memasang tembok untuk menjaga diri?

Memikirkan itu membuat kantuk gue datang dan tertidur hingga gue dibangunkan oleh Mama karena mobil telah sampai di rumah. Eriya menolak nginap di rumah gue lagi karena dia harus packing segala keperluan untuk terbangnya.

Keheningan tercipta di antara kami hingga kami sampai di kamar Papa dan membaringkan Papa ke ranjang. Mama sepertinya sudah tahu ada sesuatu yang terjadi, tapi memilih untuk menunda pertanyaannya. Gue nggak akan bertanya-tanya dari mana Mama bisa tahu. Sudah pasti Dave jawabannya. Bocah itu sedari siang tadi terus mendiamkan gue. Lebih tepatnya sejak kepergian Ervin. Saat tak sengaja bertatapan dengan gue, Dave akan memalingkan muka dengan wajah kecewanya. Oke, karena Dave masih bocah, maka gue akan memaafkan sikapnya ini.

Jam baru menunjukkan pukul delapan malam, tapi rumah sudah terasa sepi karena semua penghuninya telah masuk kamar kecuali gue. Karena bingung mau ngapain dan belum ngantuk, gue memutuskan untuk duduk santai di taman belakang dengan tangan gue membawa secangkir kopi. Gue mendudukkan diri di pinggir kolam renang yang telah mengering. Biaya perawatan kolam termasuk mahal, maka gue memutuskan untuk mengeringkan kolam meski mendapat protesan dari Dave dulu.

Otak gue berkelana ke masa lalu. Hati gue seperti teriris mengingat dulu gue sering kedatangan anak dari kolega Papa dan Mama. Mereka mendeklarasikan diri sebagai sahabat gue, mengatakan bahwa kita akan dan harus kompak apapun yang terjadi. Dan semua itu hanya omong kosong. Satu per satu dari mereka membuat alasan untuk nggak menemui gue. Padahal gue minta ketemuan juga bukan mau pinjam duit apalagi minta-minta. Terparah, Sitha yang rumahnya cuma beda blok sama rumah gue, datang ke coffe shop tempat kita janjian hanya untuk menyerahkan amplop berisi uang tanpa mau duduk barang semenit.

"Sori ya, gue punyanya cuma segitu. Ada sih sebenernya, tapi itu udah gue anggarin buat beli sepatu incaran kita sejak dua bulan lalu. Lo inget kan sepatu yang mana?" Shita mengatakan itu tanpa mempedulikan muka kebingungan gue.

"Oh, gue lupa, lo nggak ikut meet up kita kemarin kan ya? Pantes sih kalau lo nggak tau apa yang gue omongin. Tapi gini, intinya gue adanya segitu, mungkin bagi lo itu banyak tapi gue ikhlas kok. Lo nggak perlu balikin, gue beneran ikhlas. Apalagi dengan kondisi lo sekarang, pasti susah buat lo balikin duit segitu. Gue ngerti kok, Lu," Sitha menepuk bahu gue.

"Gue sebenernya ada janji sekarang, tapi gue belain ke sini duluan. Karena gue yakin lo bener-bener butuh. Tapi sekarang, gue beneran harus pergi. Gue tinggal ya, Lu?" Sitha melenggang pergi tanpa memberi kesempatan buat gue menanyakan apa maksud ucapannya. Dan amplop itu berisi apa?

Cepat gue meraih amplop dan membukanya. Gue dibuat terkejut ketika mendapati sejumlah uang di dalam amplop itu. Gue hanya bisa menertawakan diri sendiri. Padahal gue ngajak Sitha ketemuan karena gue mau ngomongin film terbaru yang akan rilis seminggu lagi dan membuat jadwal untuk menonton bersama. Ternyata Sitha menganggap lain, dia pikir gue akan minta uang darinya karena kondisi keluarga gue yang jatuh miskin.

Awalnya gue cukup terpukul mendapati sikap mantan teman-teman gue. Mereka mengeluarkan gue dari grup, baik di dunia nyata maupun sosmed. Saat tak sengaja bertemu, mereka akan menghindar atau bahkan sengaja mendatangi gue hanya untuk mencemooh gue. Dan hal itu nggak hanya terjadi pada gue, juga pada Dave dan orangtua gue. Kolega Papa bahkan terang-terangan mengejek Papa, padahal saat Papa sehat dulu, Papalah yang membantu membesarkan usaha mereka. Tak jarang gue lihat di sela menyapa para pelanggannya, Papa akan menawarkan usaha dan jasa para koleganya.

Chef LuiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang