"Vin, kamu lagi bercanda kan?"Ervin meraih tangan gue untuk digenggam. "Nggak, Sayang. Aku serius."
"Tapi, Vin. Kamu tahu kan kalau ak-"
"Lui sayang. Aku mau menikahi kamu, bukan mengekang kamu. Aku akan terus dukung usaha kamu. Aku nggak akan membatasi gerak dan cita-cita kamu. Kita bisa menjalaninya bersamaan. Kamu tetap bisa ke Luisine dan melakukan aktifitas di sana. Bedanya, kamu ada aku sebagai tempat kamu pulang. Kalau soal hutang kamu sama Eriya, aku memang berharap kamu mengijinkan aku buat bayarin semua. Tapi seandainya pun kamu nggak ngijinin, aku nggak akan maksa. Aku akan memastikan kamu tetap jadi orang yang bertanggung jawab."
Gue bungkam. Ucapan Ervin terdengar sangat menarik, tapi apa ini nggak terlalu cepat?
"Kamu hanya perlu yakin kalau kita bisa mewujudkan impian kita bersama-sama. Kita akan saling mendukung pekerjaan masing-masing."
"Tapi aku takut, Vin. Aku takut terlalu terobsesi sama cita-cita aku dan berakhir aku nggak peduli pada pernikahan kita. Aku nggak mau nantinya menjadi abai karena aku terlalu sibuk sama Luisine."
Ervin menyunggingkan senyum manisnya. "Ada aku, ada anak-anak kita nanti yang akan membuat kamu ingat dan nggak sabar untuk selalu kembali ke rumah. Aku bebasin kamu, tapi bukan berarti aku akan biarin kamu gitu aja. Aku mau menjadi suami yang akan membimbing kamu, ngingetin kamu kalau lupa, negur kamu kalau salah, mijitin kamu kalau capek. Dan sebaliknya, kamu juga akan begitu ke aku."
Perasaan hangat menjalari hati gue. Tepat seperti itulah sosok yang gue inginkan untuk menjadi pendamping gue. Gue menginginkan sosok yang akan memimpin gue tanpa membuat gue merasa terkekang. Dan kini gue menemukan sosok itu pada diri Ervin.
"Kita omongin hal ini ke orangtua kita," ucap gue pada akhirnya.
Ervin mengangguk antusias kemudian menggamit jemari gue dan menuntun gue untuk keluar dari kantornya. Kita akan membicarakan hal ini dengan orangtua gue dulu baru kemudian orangtua Ervin.
Tetapi, kami sama sekali nggak ngira kalau jawaban Papa akan diluar dugaan kami. Papa nggak mengijinkan kami menikah bulan depan. Meski kami berusaha memohon dan meyakinkan, Papa tetap dengan pendiriannya. Ervin akhirnya mau pulang setelah gue bilang bahwa gue akan mencoba ngomong sama Papa.
Saat ini, gue sedang duduk di ruang tengah bersama Mama, Papa dan Dave. Papa terlihat gusar karena gue kembali mengungkit soal pernikahan.
"Papa kenapa nggak ngijinin kita? Niat kita kan baik," gue bertanya selembut mungkin.
Papa masih diam, bahkan nggak mau melihat ke arah gue.
"Papa nggak ngerestuin aku nikah sama Ervin?" Papa menggeleng.
"Lalu apa yang bikin Papa nggak ngijinin kami menikah?"
Papa mengangkat wajahnya yang membuat gue terkejut, karena wajahnya basah oleh air mata. "Papa belum siap melepas kamu untuk laki-laki lain."
"Selama ini kamu selalu ada di samping Papa, kamu selalu merawat Papa dengan penuh rasa sayang meski Papa telah menyakiti kamu. Kamu tetap menerima Papa, meski Papa sudah banyak membuat kamu menderita. Kamu sangat berharga buat Papa, dan Papa nggak bisa melepas kamu pada laki-laki lain. Papa nggak sanggup," ujar Papa dengan isakan.
Gue ikut menangis oleh perkataan Papa. Gue paham bagaimana perasaan Papa, setiap orang tua pasti berat melepaskan anaknya untuk orang lain. Empty Nest Syndrom alias perasaan hampa yang orangtua rasakan ketika harus melepas kepergian anak dari rumah, entah untuk alasan pendidikan, menikah atau alasan lainnya. Dan gue rasa Papa juga mengalami sindrom ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chef Lui
Roman d'amourLuishara sudah lama ingin menyerah dengan kehidupannya yang kacau akibat ulah ayahnya, hingga dia harus mengubur mimpinya untuk menjadi chef. Tapi, bagaimana pun dia berusaha, pada akhirnya dia tetap kembali pada keluarga dan kehidupannya yang menye...