Belajar Menerima

1.5K 180 2
                                        


"Tau lo minta ke sini tadi kita bawa baju sekalian."

Ervin berulang kali berdecak sebal. Tak lain karena gue mengajaknya makan di cafe pinggir pantai yang jaraknya terbilang jauh dari rumah kami. Menurut Ervin, seharusnya gue mengatakan dari awal sehingga kami bisa pulang dahulu mengambil baju ganti dan kebutuhan lainnya. Katanya sangat percuma sudah sampai sini tapi nggak liburan sekalian.

"Lain kali kan bisa, kalo kita sama-sana udah nggak sibuk," gue mencoba meredakan kejengkelan Ervin.

"Apa lo bilang? Lain kali? Lo udah punya rencana buat liburan sama gue lain kali, ya?" Ervin sekarang terlihat bersemangat.

"Kalo jadwal kita memungkinkan, kenapa nggak?"

Ervin nampak terhenyak, detik berikutnya bersorak girang. "Lo pengen ke mana?"

"Ada banyak tempat yang pengen gue datangi," gue mengingat lagi tempat-tempat yang belum pernah gue datangi. "Gue sering ke Bali, tapi tetep aja Bali itu selalu ngengenin. Jadi gue pengen ke sana lagi, gue juga pengen ke Labuan Bajo lagi. Ke desa Wae Rebo, ke Sembungan desa tertinggi di Jawa Tengah, sekaligus naik ke bukit Sikunir buat lihat golden sunrise di sana."

"Hmm... mademoiselle Rousseau ini rupanya banyak maunya ya," Ervin mencolek hidung gue.

"Itu belum seberapa tau, masih banyak tempat di dunia ini yang pengen gue kunjungi."

"Siap, komandan! Gue akan bawa lo ke tempat-tempat yang lo sebutin tadi, bahkan yang belum lo sebutin juga. Tapi ada syaratnya...," Ervin menggantung ucapannya.

"Apa syaratnya?"

"Syaratnya, kita harus nikah dulu. Nggak mungkin Papa ngijinin gue bawa lo ke sana-sini kalau status kita bukan apa-apa kayak gini," jawab Ervin lugas.

"Iya juga. Ya udah, kalau gitu ajak Dave sama Raisa aja, pasti dibolehin," gue memberi saran.

"Ckk... yang ada bukannya liburan malah kita momong mereka. Nggak!" tolak Ervin.

Gue cuma bisa tertawa melihat wajah masamnya Ervin. "Udah yuk, cari makan. Gue udah laper," gue mengakhiri pembahasan mengenai liburan.

Kami beranjak dari bibir pantai dan mulai mencari warung makan seafood. Menjelang tengah malam mobil baru melaju untuk pulang. Gue sudah mengabari orang rumah kalau malam ini gue akan jalan sama Ervin, supaya mereka nggak perlu nungguin gue. Terutama Dave, bocah itu selalu khawatir berlebih jika menyangkut soal gue.

**

"Makasih, buat makan malamnya," kata gue setelah mobil berhenti di depan rumah.

"Iya, gue juga seneng bisa jalan sama lo. Selama ini kan susah banget kalo mau ngajakin lo jalan, harus maksa dulu."

Gue terkekeh oleh jawaban Ervin. Ingat betul bagaimana Ervin mencoba modus mengajak gue jalan yang selalu gue tolak. Mentok, dia akan mengajak Raisa atau Dave supaya gue mau ikut.

"Lo mau langsung pulang?" tanya gue iseng. Mana mungkin Ervin pulang, belakangan Ervin lebih sering tidur di rumah gue daripada di rumah Malit. Kadang gue sampai ngeri rumah gue digrebek warga. Tapi kata Ervin, dia justru menantikan moment itu. Gue tahu maksudnya apa, jadi gue nggak perlu nanya lagi.

"Masih perlu ditanyakan?" Ervin menaikkan sebelah alisnya.

"Duit lo nggak habis emang, tiap hari nginep di hotel bintang lima."

Ya, Ervin masih terus bayar sewa kamarnya ke gue.

"Anggep aja gue lagi latihan kasih nafkah ke elo," Ervin selalu menganggap enteng apapun.

Chef LuiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang