Menjelang pernikahan, biasanya akan ada ujian besar yang menghampiri calon memepelai. Tak jarang, karena ujian itu, kedua mempelai memutuskan untuk mengakhiri hubungan yang tinggal selangkah lagi menuju resmi.Maka dari itu, sekarang gue tengah ketar-ketir sendiri karena takut gue akan menjadi salah satu dari mereka yang mendapat ujian pra wedding. Gue takut, entah gue atau Ervin akan menyerah dengan ujian yang datang. Walau berkali-kali Ervin maupun keluarga gue meminta gue agar tenang dan tetap optimis, gue tetap nggak bisa mengenyahkan rasa takut gue.
Hari pernikahan kami tinggal satu minggu lagi dan semua sudah siap sesuai rencana. Gaun pengantin yang dipesan mendadak itu telah tersimpan rapi di lemari. Undangan telah kami sebar dan berbagai bahan pokok untuk masakan nanti sudah mulai dicicil persediaannya, dimulai dari bahan yang paling tahan lama. Karena ini merupakan acara besar, maka kami telah memesan berbagai bahan dari jauh hari untuk menghindari stok kosong di hari H.
"Udah siap, kan?" Ervin hari ini mengambil libur untuk mengantar gue ke dokter dan ke KUA.
Gue mengangguk gugup. Jujur saja, sedari menyiapkan berkas untuk persyaratan menikah, hati gue selalu berdebar. Gugup, gelisah, tak sabar dan takut campur aduk menjadi satu dan tak urung membuat gue sering uring-uringan nggak jelas.
"Jangan tegang gitu dong, nanti cuma disuntik satu kali doang," Ervin meremas jemari gue.
Gue tegang bukan karena akan berurusan dengan jarum suntik. Dari awal gue sudah tahu bahwa salah satu syarat nikah adalah surat keterangan dari dokter yang tentunya ada adegan menyuntik imunisasi TT untuk calon mempelai perempuan. Meski dalam hati gue memprotes karena hanya gue yang disuntik sementara Ervin tidak, tapi gue tetap melakoni prosedur itu. Setelah dari dokter, kami menuju kantor KUA di wilayah tempat tinggal gue. Akad nikah akan dilaksanakan di rumah gue yang mulai dua hari lalu telah disiapkan untuk acara sakral itu.
"Nggak nyangka, seminggu lagi kamu bakal jadi nyonya Ervin," kata Ervin dengan senyum mengembang.
"Iya, dan mulai besok kita nggak boleh ketemu sampai akad nikah nanti," balas gue mengingatkan.
Ervin menentang keras acara pingitan ini, menurutnya jaman sudah berubah, tak perlu lagi menggunakan adat lama. Tapi protesan Ervin tak berarti apapun karena baik Malit maupun Mama, keduanya kekeh menggunakan prosesi adat Jawa karena keduanya merupakan orang Jawa asli.
Gue juga nggak bisa berkutik dengan aturan mereka. Karena setelah hari ini, gue nggak diperbolehkan lagi untuk keluar rumah. Segala kebutuhan gue akan disiapkan di rumah, termasuk paket spa dari Malit yang khusus mendatangkan therapist ke rumah. Sungguh terniat.
"Kayaknya kita harus pulang malam deh, sebelum kita beneran dipingit dan nggak boleh ketemu sama sekali," Ervin mulai ngawur.
"Coba aja kalau bisa," gue menunjuk ke arah mobil di belakang kami.
Ervin yang mengikuti arah telunjuk gue mengerang frustasi begitu menemukan mobil Malit membuntuti kami.
"Gila ya, kita mau nikah loh. Kenapa mesti dipingit segala sih?"
Gue terkikik melihat wajah Ervin yang nampak putus asa. "Katanya biar kamu pangling sama aku nanti pas akad. Katanya juga pamali kalau ketemu sebelum akad, bisa bikin kita batal nikah."
Dengusan sebal terdengar jelas dari Ervin. "Padahal kita udah ketemu sejak lama, kenapa tinggal seminggu lagi malah dilarang ketemu?"
"Udah lah, nurut aja sama orangtua," gue mengakhiri pembicaraan ini meski Ervin masih enggan.
Tak lama kemudian mobil Ervin berhenti di halaman rumah yang sudah terlihat sangat cantik dengan taman bunganya, menggantikan beberapa tanaman sayur yang sebelumnya memenuhi seluruh penjuru taman. Belum sempat kami turun, Malit sudan lebih dulu menghampiri mobil kami.

KAMU SEDANG MEMBACA
Chef Lui
RomanceLuishara sudah lama ingin menyerah dengan kehidupannya yang kacau akibat ulah ayahnya, hingga dia harus mengubur mimpinya untuk menjadi chef. Tapi, bagaimana pun dia berusaha, pada akhirnya dia tetap kembali pada keluarga dan kehidupannya yang menye...