Seperti perkiraan Ervin sebelumnya, setelah gue menerima orderan untuk pestanya Ervin. Kini gue kembali kabanjiran pesanan. Terlebih, banyak dari pelanggan Papa yang turut hadir dalam pesta itu dan mereka menyempatkan diri menyapa Papa. Tak menyia-nyiakan kesempatan, Papa menjadikan pertemuan mereka sebagai ajang promosi usaha gue. Sungguh luar biasa pengaruh Papa.
Sekarang, gue tengah dirong-rong oleh Mas Edo untuk mencari tempat berjualan sekaligus menambah karyawan. Hal itu cukup membuat gue pusing. Karena sebelumnya gue bahkan harus meminjam setengah gaji Mas Edo dan Pak Erik untuk menambah modal membeli peralatan yang lebih besar dan lebih canggih.
"Mas, jangankan beli ruko, sewa aja aku belum sanggup. Mahal tahu tempat kayak gituan. Gampang banget nyuruhnya, kayak uangnya tinggal metik di pohon aja!" omel gue saat Mas Edo lagi-lagi menyuruh gue mencari tempat berjualan.
"Tapi nanti akan sebanding dengan omset yang kita dapatkan, Lui. Dengan adanya toko, orang akan lebih banyak yang datang. Karena kita juga menyediakan makanan yang siap saji. Mereka nggak harus memesan jauh hari dulu baru mereka bisa menikmati makanan dari kita," Mas Edo memaksa.
"Tapi mana ada jaman sekarang ruko yang murah di tempat yang strategis?" gue nggak mau kalah.
"Mas udah sempet diskusi masalah ini sama Ervin, kita tinggal nunggu kabar baik darinya aja."
Gue melototi Mas Edo. "Kenapa musti libatin Ervin sih?"
"Karena dia pacar kamu, dan kerjaan dia di bidang properti. Pasti sangat mudah buat Ervin nyari info soal ruko yang murah," sahut Mas Edo enteng.
"Berapa kali aku harus bilang, Ervin bukan pacar aku!"
"Iya-iya calon suami kamu! Ya intinya, nanti kalau Ervin ngasih kabar baik ke kamu. Kamu pertimbangin lagi, tapi jangan kelamaan mikirnya. Nanti keburu diambil orang lain," pesan Mas Edo sebelum kembali ke belakang.
Semenjak gue jadi tamu di pesta Ervin tempo hari, semua orang di rumah gue maupun rumah Malit selalu mengatakan kalau gue dan Ervin adalah sepasang kekasih. Klarifikasi yang gue berikan sama sekali nggak mempan karena Malit membumbui dengan merubah panggilan ke gue dari 'Bule' menjadi 'Calon Mantu'. Diperparah oleh Mama yang meminta pendapat para partner gue soal menjadikan Ervin sebagai mantunya.
Pasrah. Itulah yang berkali-kali gue lakukan. Meski gue menyangkal, mereka akan tetap menyebut Ervin sebagai pacar gue, calon suami gue, calon masa depan gue dan masih banyak lagi.
Deringan ponsel mengalihkan atensi gue. Rupanya panggilan dari biang kerok utama. Ya, Ervin bukannya menyangkal semua tuduhan mereka, tapi dia justru menikmati. Lebih parahnya Ervin malah mengamini setiap ada yang memanggilnya sebagai 'calon bapak dari anaknya Lui'. Edan!
"Apa, Vin?!"
"Galak banget sih?" gerutu Ervin di sana.
"Gue tuh masih sebel ya sama lo!"
"Masih aja soal itu? Udahlah Lui, dibawa santai aja. Toh nggak bikin rugi lo juga kan?"
Tarik nafaasss! Keluarkan! Habis ini makan bakso, Lui. Biar enakan.
"Ada apa lo nelfon gue?"
"Gue on the way ke situ, habis ini lo ikut gue."
Apa-apaan main jemput gini! Nggak ada janji atau bahasan apapun, tiba-tiba mau bawa gue pergi?
"Gue sibuk, Vin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Chef Lui
RomanceLuishara sudah lama ingin menyerah dengan kehidupannya yang kacau akibat ulah ayahnya, hingga dia harus mengubur mimpinya untuk menjadi chef. Tapi, bagaimana pun dia berusaha, pada akhirnya dia tetap kembali pada keluarga dan kehidupannya yang menye...