Mantu Mama

1.4K 175 0
                                    


Setelah menjelaskan panjang lebar akhirnya Dave mau juga percaya omongan gue dan Ervin. Dia kembali ke kamarnya, setelah mewanti-wanti agar gue dan Ervin jangan tidur sekamar dulu.

Elah, siapa yang mau tidur sekamar sama Ervin, sih?

"Lo pergi sana, Vin. Pulang kek," usir gue kesekian kalinya.

"Lo ngitung nggak sih? Hari ini berapa kali lo ngusir gue?"

Gue nggak ngitung, tapi rasanya hari ini gue banyak banget ngusir Ervinnya. "Ya harusnya lo tahu diri dong, udah diusir masih aja bertahan."

Ervin berdecak tidak suka. "Gue nginep sini ya, males pulang gue. Malit pasti bakal marahin gue habis-habisan gegara lo keluar. Padahal salah dia sendiri yang mutusin buat kerja sama."

"Lo bisa tidur di kantor, Vin."

"Kantor lagi di pakai buat tidur Roni sama Dika, hari ini mereka lembur."

"Tidur di hotel kan bisa, harus banget nginep di sini?" gue mulai geram.

"Di sini juga nggak beda jauh sama di hotel, gue udah kayak lagi nginep di hotel aja," Ervin berujar seenaknya.

"Kalo gitu lo harus bayar, Vin. Karena di sini lo akan mendapatkan fasilitas kayak di hotel bintang lima," seenggaknya gue nggak boleh rugi-rugi amat lah.

"Ckck, lo perhitungan banget sih," gerutu Ervin. "Gue harus bayar berapa nih?"

"Tiga ratus ribu per malamnya," jawab gue tanpa beban.

Ervin menatap gue tak percaya. Lalu dia menyerahkan sebuah kartu kredit ke gue. "Pakai sesuka lo."

"Heh! Gue bukan bini lo. Ngapain kasih kartu lo ke gue?"

"Anggap aja lo lagi latihan jadi bini gue."

"Nggak! Gue maunya lo bayar cash!"

Ervin mengalah, dia menyerahkan dompetnya ke gue. Dengan senang hati gue membuka dompet Ervin yang isinya lebih banyak kartu daripada uang. Hanya ada beberapa lembar uang di dalamnya. Wajar saja, belakangan ini orang jarang sekali melakukan pembayaran secara cash. Gue mengambil tiga lembar kertas berwarna merah, saat gue mengembalikan dompet dan kartu pada Ervin, dia menolak.

"Simpen lo dulu deh, kali aja gue butuh fasilitas tambahan ntar," tukas Ervin songong.

Gue pun melempar dompet Ervin ke kasur dan berjalan mendahului Ervin. Karena sebelumnya Ervin selalu tidur di kamar Dave, maka gue pun merasa harus menunjukkan kamar tamu pada Ervin. Kamar tamu berada di seberang kamar gue. Dipisahkan oleh ruang keluarga yang menghadap balkon utama selebar kurang lebih sebelas meter.

"Lo kalo butuh minum dan lain-lain bisa bikin sendiri di bawah. Nggak perlu gangguin gue minta dibuatin," gue memberi peringatan.

"Gue udah bayar banyak padahal," gumam Ervin.

"Nggak usah banyak protes!"

Gue berbalik kembali ke kamar gue.

Rencana gue untuk menelfon Derry menguap entah kemana. Bukannya menelfon Derry, gue malah merabahkan diri dan hilang kesadaran dalam waktu singkat.

Gue baru membuka mata saat Dave menggedor pintu kamar gue. Dengan kesal gue berjalan menuju pintu. "Apa sih lo, pagi-pagi udah berisik aja!"

"Kak Ervin mana?" Dave melongokkan kepala menelisik kamar gue.

"Ngapain nyari Ervin di kamar gue?"

"Soalnya Kak Ervin nggak tidur di kamar gue, tapi mobilnya masih di sini. Gue curiga, lo bawa dia tidur di kamar lo kan?" tuduh Dave seenak jidat.

Chef LuiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang