Gue memberi rincian tugas pada Eriya dan Dave sebelum kami bubar untuk tidur.
Eriya, dengan jangkauan sosial yang luas, gue beri tugas untuk mempromosikan keahlian gue. Dia sangat setuju, bahkan langsung berniat akan menyebar brosur itu ke teman-teman arisan Mamanya juga.
Dave, gue beri tugas yang lebih ringan, yaitu harus rela ke sekolah tanpa motor. Karena selanjutnya bisa dipastikan, gue yang akan lebih membutuhkan motor untuk segala aktifitas gue. Dave mengangguk setuju tanpa protes.
Bak gayung bersambut. Dua hari setelah diskusi singkat itu gue mendapat orderan pertama dari tantenya Eriya. Tante Vani memesan 50 snack box dengan isian sembilan varian kue untuk acara ulang tahun anaknya yang akan berlangsung dua minggu lagi. Beliau juga memesan sebuah kue tart full fondant berukuran besar.
Tapi, sebelum gue benar-benar memulai usaha gue ini, gue harus lebih dulu memberi tahu Malit. Gue nggak mau pergi tanpa pamit dan meinggalkan kesan yang kurang menyenangkan. Maka hari ini, gue memberanikan diri menemui Malit di kantornya.
"Bule? Ada apa?" Malit terlihat bingung dengan kedatangan gue.
"Ada yang mau aku omongin ke Malit," ujar gue sedikit gugup. Gue mendudukkan diri di kursi depan meja kerja Malit.
"Kayaknya serius banget?"
Gue mengangguk pelan. "Aku minta maaf kalau keputusan aku kurang berkenan buat Malit. Tapi aku udah yakin dengan keputusan ini."
"Malit nggak ngerti."
"Aku mau resign dari Ma Cuisine," jawab gue tegas.
Malit terlihat sangat terkejut. Dia sontak bangkit dari duduknya dan menghampiri gue. "Kamu mabuk ya?"
"Nggak Malit. Aku mana pernah mabuk-mabukan," sanggah gue.
"Kalau nggak mabuk, kenapa ngomongnya ngaco?"
"Aku nggak ngaco Malit, aku serius," gue memberanikan diri menatap Malit.
"Luishara, ada apa?" tanya Malit lirih.
Gue mengambil nafas sebelum menjelaskan alasan gue pada Malit. "Maaf, Ma. Tapi aku nggak bisa terus-menerus dalam keadaan kayak gini. Aku nggak sanggup berperang dengan diri sendiri tiap hari."
Air mata gue mulai meleleh.
"Malit tahu, ini pasti sangat berat buat kamu," Malit mendekat, tangannya mengelus puncak kepala gue dengan penuh keibuan. "Tapi apa kamu yakin dengan keputusan ini?"
Gue mengangguk antusias. "Yakin, Ma. Aku udah mikirin ini sejak lama."
Malit terlihat seperti akan menangis. "Malit sayang sama kamu, sebagai anak Malit juga sebagai karyawan Malit. Jujur, Ma Cuisine jadi lebih berwarna sejak kehadiran kamu. Tapi Malit nggak akan memaksa kamu untuk tetap di sini seandainya itu membuat kamu tersiksa. Malit akan dukung keputusan kamu."
Gue memeluk perut Malit. "Makasih, Ma."
Malit membalas dengan memeluk gue erat. Bahunya bergetar menahan isakannya.
"Tapi kamu akan sering main ke sini kan?" rengek Malit.
"Pasti, Ma. Kapan waktu, aku pasti sempetin buat ke sini," sahut gue menenangkan.
"Kamu kapan putusnya sama pacar kamu itu?" tanya Malit yang membuat gue bingung. Pasalnya, ini nggak nyambung sama topik percakapan kita.
"Kenapa emangnya?"
"Kalau kamu udah putus, cepet kabarin Malit. Biar Malit lamar kamu ke monseur Albert buat Ervin. Biar kamu balik kesini lagi, dan nggak akan resign," balas Malit mulai absurd.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chef Lui
RomanceLuishara sudah lama ingin menyerah dengan kehidupannya yang kacau akibat ulah ayahnya, hingga dia harus mengubur mimpinya untuk menjadi chef. Tapi, bagaimana pun dia berusaha, pada akhirnya dia tetap kembali pada keluarga dan kehidupannya yang menye...