Dengan berbagai kegiatan ditambah kehadiran saudara jauh gue, membuat gue seolah lupa dengan kepenatan selama dipingit.Setelah enam hari menjalani masa pingitan, kini tiba saatnya prosesi siraman di halaman belakang rumah yang telah didekor sedemikian rupa. Seluruh keluarga Mama dan keluarga Eriya turut hadir menyaksikan prosesi ini. Tidak begitu banyak orang, karena memang kami bukan berasal dari keluarga besar. Hanya ada dua sepupu Mama dengan empat keponakannya dan orangtua Eriya beserta kakak adik Eriya dan beberapa tetangga.
Tidak ada keluarga dari pihak Papa karena Papa dibesarkan di sebuah panti asuhan sejak bayi. Dan semenjak berusia lima belas tahun, Papa sudah mulai hidup mandiri.
Selesai prosesi siraman, gue digiring masuk ke kamar untuk dirias. Anak rambut disekitar dahi gue telah di kerok, untuk kemudian dibuat pola paes yang akan dilukis esok hari. Menjelang malam midodareni, gue disembunyikan di kamar gue dengan didampingi sepupu-sepupu jauh gue dan juga Dave. Bude Ida telah mewanti-wanti pada anaknya agar tidak membiarkan gue keluar dari kamar selama proses midodareni berlangsung. Padahal harusnya inilah kesempatan gue untuk bisa melihat Ervin setelah selama beberapa hari ini kami tidak bertemu, bahkan kami tidak boleh melakukan panggilan karena ponsel gue di sita Mama.
"Gimana rasanya, Lu? Deg-degan?" tanya Sasmita, anak sulung Bude Ida yang terpaut usia tiga tahun di atas gue.
"Sebel, Sas. Calon laki gue ada di bawah, di rumah ini. Tapi gue sama sekali nggak boleh ketemu," gue menggerutu.
Semua yang ada di kamar gue tertawa puas melihat gue cemberut.
"Sabar ih, besok juga ketemu dan langsung sah. Habis itu bebas mau ngapain aja, nggak perlu takut digangguin," timpal Serina, adik dari Sasmita yang berusia sama dengan gue. Sewaktu mengatakan kalimat terakhirnya, Serina dengan sengaja melirik Dave yang langsung buang muka.
"Inget, kalau ada dua orang berduaan pihak ketiganya berarti setan," Serina semakin menyerang Dave dengan menekankan kata terakhir.
Dave yang berang segera bangkit dari kasur, "lo kok jadi ngatain gue gini sih, Kak?"
Serina mendecih santai. "Gue nggak ngatain lo kok, emang kenyataan gitu kan. Pihak ketiga itu kalau bukan pelakor ya setan."
Gue dan sepupu yang lain tertawa saling meledek Dave. Bukan rahasia lagi kalau semua saudara gue sudah tahu bagaimana sikap tengilnya Dave ke gue menjelang pernikahan gue. Dan hal itu lantas mereka jadikan bahan olok-olokan pada Dave. Ajaibnya, meski sering kali diledek sekejam apapun, Dave nggak pernah ambil pusing dan tetap ngetek ke gue tiap malam.
Kami sedang saling melempar ledekan saat pintu kamar kembali dibuka dan Bude Ria masuk, lalu menanyai gue akan kesiapan dan kesediaan gue untuk menjadi istri Ervin.
Gue tahu, pertanyaan ini hanyalah simbolis dari salah satu urutan prosesi acara midodareni. Gue sengaja mengulur jawaban agar orang-orang di bawah menjadi tegang.
"Gimana, Lui?" Bude Ria kembali menanyakan.
"Tentu saja mauuu!!!" bukan gue yang menjawab melainkan para sepupu dan juga Dave.
"Bude nggak perlu nanyain hal kayak gitu ke Kak Lui, jelas kita semua tahu jawabannya," Dave menyuarakan isi kepala gue yang gue dukung dengan anggukan.
"Iya, Bude juga tahu kok. Tapi kita ulur waktu sebentar, biar calon suami kamu makin banjir keringatnya," jawab Bude Ria dengan seringaian jahil.
Mendengar kata calon suami dari Bude Ria, membuat senyum lebar gue merekah tanpa permisi. Gue nggak bisa membayangkan bagaimana rupa Ervin memakai busana adat Jawa besok. Pasti akan telihat semakin tampan dari biasanya yang sudah sangat tampan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Chef Lui
RomanceLuishara sudah lama ingin menyerah dengan kehidupannya yang kacau akibat ulah ayahnya, hingga dia harus mengubur mimpinya untuk menjadi chef. Tapi, bagaimana pun dia berusaha, pada akhirnya dia tetap kembali pada keluarga dan kehidupannya yang menye...