Menjadi sukses tidaklah semudah mengedipkan sebelah mata. Walau dengan pesugihan sekalipun, nggak mungkin dalam semalam langsung sukses tujuh turunan. Banyak ritual dan pengorbanan yang dilakukan sebelumnya. Itu pun kadang hanya bertahan sebentar.Begitu pula yang gue alami. Butuh banyak perjuangan untuk gue bisa berada di posisi sekarang. Beruntung, gue dikelilingi oleh orang-orang hebat yang terus mendorong gue untuk melangkah maju. Kesuksesan gue sejatinya adalah milik mereka. Terutama, Dave. Adik yang terkadang lebih dewasa dari orangtua gue. Namun nggak jarang juga, kadang bertingkah seperti bayi. Bocah yang kini tengah kuliah semester 5.
Dan tentu saja, kesuksesan gue juga berkat manusia menyebalkan tapi sayangnya gue suka. Siapa lagi kalau bukan Ervin Wira Bapaknya Calon Anak Di Perut Gue Diraga. Saat ini gue sedang mengandung anaknya Ervin, dan usia kehamilan gue telah memasuki minggu ke delapan. Kehamilan gue ini begitu dinanti-nantikan oleh segenap keluarga besar kami, tak terkecuali suami gue sendiri. Karena gue baru hamil di tahun kedua pernikahan kami.
Bukan tanpa alasan, gue emang berniat menunda punya momongan sejak awal menikah. Tentu gue telah minta ijin sama Ervin. Gue mau fokus ke usaha gue dan hutang-hutang gue lebih dulu. Supaya saat hamil nanti gue bisa fokus ke calon anak kami. Ervin setuju, meski nggak jarang dia merayu gue agar diperbolehkan melunasi semua hutang Luisine, supaya gue bisa secepatnya promil.
Sekarang, kami semua sudah bisa bernafas lega. Hutang Papa telah lunas. Begitu pula hutang Luisine pada Eriya. Gaji Pak Erik dan Mas Edo yang dulu sempat gue potong, telah gue kembalikan. Bahkan gue telah menambah lima chef, tiga pramusaji dna tiga orang untuk bagian belakang alias bersih-bersih perabotan, duh gue nggak tega bilang mereka tukang cuci. Kamar pribadi gue di lantai atas juga dirubah menjadi kafe karena pengunjung Luisine semakin banyak seiring bertambahnya menu. Untuk urusan istirahat, gue tinggal menyebrang menuju kantor laki gue.
"Lui, hapenya bunyi tuh!" seru Mas Edo begitu gue keluar dari toilet.
Segera gue menyambar ponsel di meja dekat loker tempat para partner gue menyimpan tasnya.
"Iya, Vin?" sapa gue pada Ervin yang menelfon.
"Aku udah selesai urusannya sama klien, kita jalan sekarang?"
"Oke, aku ke depan sekarang."
Kami berencana periksa rutin kehamilan gue dilanjutkan mengunjungi rumah Papa untuk makan malam bersama dua keluarga. Sejak delapan bulan lalu, kami telah menempati rumah yang sudah Ervin siapkan sejak awal menikah. Itu pun setelah perdebatan alot antara dua kubu. Kubu gue dan Ervin melawan kubu Papa dan Dave. Sampai Mama menolak terlibat tiap kali gue dan Ervin meminta ijin agar bisa segera menempati rumah sendiri. Papa dan Dave ngotot nggak mau melepas gue keluar dari rumah. Baru, setelah kubu gue mendapat bantuan dari Bude Ida dan Bude Ria, Papa mau mengijinkan kami.
Tapi, kita masih harus bersabar. Karena hingga sebulan setelah menempati rumah sendiri, Dave terus menginap di rumah kami. Eriya dan Raisa lah yang akhirnya berhasil menyeret Dave kembali ke rumah Papa. Sejak itu kami membuat kesepakatan untuk mengadakan makan malam bersama antara keluarga gue dan keluarga Ervin sebulan sekali. Tempatnya bergiliran antara rumah Papa, rumah Padi dan rumah kami. Kebetulan malam ini giliran di rumah Papa.
"Aku tinggal dulu, ya?" pamit gue pada segenap partner di dapur. Mereka mengacungkan jempolnya. Gue melangkah keluar dapur, menuju bagian depan Luisine. Beberapa partner tengah sibuk melayani pengunjung.
"Semua oke?" gue mendekat ke Mbak Ola yang duduk di meja kasir.
"Oke, chef," jawabnya yang membuat hati gue lega.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chef Lui
RomansaLuishara sudah lama ingin menyerah dengan kehidupannya yang kacau akibat ulah ayahnya, hingga dia harus mengubur mimpinya untuk menjadi chef. Tapi, bagaimana pun dia berusaha, pada akhirnya dia tetap kembali pada keluarga dan kehidupannya yang menye...