Liburan Singkat

1.4K 175 2
                                    

Hampir dua jam setelah "obrolan" gue dengan dua wanita ular itu, Malit menghampiri gue yang tengah membuat kulit pie. Malit meminta gue mengikutinya hingga ke ruang santai di halaman belakang rumah Malit.

"Malit lihat kejadian tadi. Maaf kalau Malit nggak bantuin kamu," Malit membuka percakapan.

"Nggak papa kok, Ma. Lagian cuma begitu doang," gue menenangkan Malit.

"Sebenarnya Rida udah gregetan pengen keluar. Tapi Malit tahan, soalnya Malit yakin kamu mampu menangani mereka. Kamu unggul banyak dari mereka, jelas mereka nggak sebanding kalau mau melawan kamu. Itulah mengapa Malit hanya mengawasi kalian, Malit percaya sama kamu."

Ucapan Malit membuat gue tersenyum senang. "Makasih, Ma."

Malit mengelus kepala gue dengan sayang. "Ya ampun bule, kamu kuat banget! Kalau Malit yang ada di posisi kamu, Malit pasti udah menyerah."

Gue tersindir. Ingat, bagaimana gue dulu berkali-kali berusaha mengakhiri hidup gue. Untung gue punya Dave, adik yang merangkap sebagai abang gue sekaligus. Berkat bocah itu, gue mampu bertahan hingga detik ini. "Doain aku tetap kuat ya, Ma."

"Pasti. Kamu udah kayak anak Malit sendiri, kamu selalu ada dalam setiap doa Malit," Malit tersenyum teduh.

"Makasih banyak, Ma."

"Iya," jawab Malit. "Oh ya, besok kamu boleh libur dulu. Kebetulan dapur nggak terlalu banyak jadwalnya."

"Beneran, Ma?" tanya gue antusias.

"Bener. Lagian kamu tuh yang paling jarang ambil libur di antara karyawan lain. Jadi, besok kamu boleh libur dua hari. Ajak orangtua kamu jalan-jalan, supaya mereka nggak kepikiran oleh kabar kemarin," Malit menyarankan.

Gue tercengang. Bagaimana Malit bisa tahu soal kejadian kemarin di rumah?

"Malit tahu dari mana?"

"Tadi malam waktu Ervin pulang, Malit sempet nanyain dia mau ke mana. Jadi, Ervin jelasin sekaligus minta ijin kalau dia mau jaga-jaga di rumah kamu. Takut Pak Albert drop lagi," Malit menjawab. "Dan barusan, Bu Vita juga cerita sama Malit."

"Wanita itu cerita ke Malit?" tanya gue nggak percaya.

"Betul. Malit juga nggak nyangka, kenapa dia bisa begitu bangga menceritakan soal keberhasilannya merusak rumah tangga orang. Duhh ... amit-amit jabang bayi, jangan sampai Malit dan anak-anak Malit ketemu wanita seperti itu!" Malit menggelengkan kepalanya heboh.

"Kalau bukan karena Malit harus profesional soal bisnis. Malit ogah deket-deket sama dia. Toxic banget dia tuh!" omel Malit.

Gue tertawa getir menanggapi omelan Malit. Pada akhirnya kita harus mengalah pada ego kita agar tetap bisa hidup. Agar yang telah berjalan tetap berjalan, yang berdiri tidak sampai jatuh.

***

Hari libur gue bertepatan dengan tanggal merah, yang berarti bahwa Dave juga libur walau hanya sehari. Gue memanfaatkan moment yang sangat jarang ini dengan mengajak seluruh keluarga gue piknik ala kadarnya, seperti yang disarankan Malit.

Gue awalnya ingin meminjam mobil Eriya yang saat itu sedang di rumah, tapi Eriya tidak mengijinkan kalau dirinya tidak diajak ikut serta. Jadilah, kita berlima berangkat menuju Puncak selepas subuh. Eriya sengaja menginap di rumah gue supaya bisa berangkat pagi bareng kami. Sepanjang jalan gue hanya melihat raut bahagia dari anggota keluarga gue. Dalam hati gue setuju dengan Ervin, sesekali memang gue harus membawa mereka keluar. Selama tiga tahun belakangan mereka seolah gue penjarakan di dalam rumah.

Kami sampai di villa pribadi keluarga Eriya. Secara khusus, Papanya Eriya meminta kami untuk berkunjung ke villanya saat Eriya minta ijin untuk ikut kami. Hubungan keluarga gue dan Eriya memang masih terjalin baik, terlepas dari status kami yang kini turun kasta. Gue selalu bersyukur bertemu dengan orang baik seperti Eriya dan keluarganya.

Chef LuiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang