Berjuang Bersama

1.3K 175 1
                                        


Masalah tempat untuk Luisine sudah beres. Ervin berjanji akan membawakan surat kontrak untuk kita tanda tangani segera setelah urusannya dengan notaris selesai. Tempat itu memang sudah dibeli oleh Ervin, tapi surat-surat resminya sedang dalam proses mengurus.

Ervin baru mengantar gue pulang setelah jam kantornya selesai. Bukannya membiarkan gue pulang duluan, Ervin justru meminta gue untuk menemaninya bekerja. Gue kesal tapi juga nggak nolak. Begitu sampai di rumah, kami disambut muka masam Mas Edo.

"Mas emang ijinin kamu bawa Lui pergi. Tapi bukan berarti baru dibalikin jam segini, kamu pikir Lui nggak ada kerjaan apa?" omel Mas Edo. "Kamu juga, kenapa nggak minta pulang dari tadi?"

"Salah Mas Edo yang ngasih ijin segala. Tahu sendiri kalau pergi sama Ervin nggak pernah sebentar," gue nggak mau disalahkan.

"Nggak lagi-lagi Mas kasih ijin kalian pergi berdua. Bilangnya mau survei lokasi, taunya modus doang buat pacaran," Mas Edo masih ngedumel.

Bukannya takut, Ervin justru tertawa melihat Mas Edo marah-marah. "Lo kayaknya kudu nyari pacar secepatnya deh, biar nggak iri liat orang lain pacaran."

"Mana ada orang yang mau sama Mas Edo, galak gitu," gue mencemooh.

"Ngaca dong, kamu lebih galak dari Mas. Emang ada yang mau sama kamu?"

"Ada dong. Gue," sambar Ervin bangga.

Mas Edo melotot.

"Ckck, dasar kalian! Pergi sana! Kerjaan hari ini hampir beres, silahkan lanjutkan acara pacaran kalian!" sahut Mas Edo setengah menyindir.

"Yee sirik aja!" ejek gue pada punggung Mas Edo yang berlalu.

"Gue tuh heran, kalian ini kerjaannya berantem terus. Kok bisa sih jadi partner?" Ervin menggelengkan kepalanya.

Iya juga ya? Dari dulu gue emang nggak pernah bisa akur sama Mas Edo. Selalu saja beda pendapat, dari cara memasak, takaran yang dimasukkan hingga plating, gue dan Mas Edo nggak pernah sepaham. Tapi kita tetap bisa bekerja sama.

"Gue juga nggak ngerti," balas gue acuh.

"Gue mau mandi, lo mau pulang apa gimana?" lanjut gue.

"Gue mau mandi sekalian," jawaban Ervin sontak membuat gue mencubit lengannya keras.

"Aww sakit, Lui!"

"Lo sih ngomongnya nggak pakai aturan!"

"Maksudnya, gue mau mandi juga di kamar gue. Otak lo aja yang mikirnya kejauhan!" sungut Ervin sambil mengusap lengannya yang memerah.

Gue nggak tahu bagaimana muka gue sekarang. Pasti merah banget. Lui, bisa nggak sih lo nggak malu-maluin diri sendiri?

Tanpa mempedulikan Ervin, gue lantas berlari menuju kamar gue dan mengunci pintu rapat-rapat. Ada apa dengan otak gue sih? Bisa-bisanya gue mikir kotor kayak gini. Gue beneran harus mandi air dingin, biar otak gue nggak mikir yang aneh-aneh.

Niat gue belum juga terlaksana, karena ponsel gue yang berdenting, menandakan ada pesan masuk. Gue pun merogoh tote bag yang gue pakai untuk mencari keberadaan ponsel gue. Gue memang lebih suka mengenakan tote bag dari pada tas berbagai model dan merk. Entah sudah berapa banyak Mama membelikan gue tas branded yang jarang sekali gue pakai, bahkan ada yang belum pernah gue pakai sama sekali hingga semua tas itu terpaksa dijual. Gue merasa nyaman dan simpel dengan tote bag berbagai warna dan motif yang gue koleksi.

Ada pesan masuk dari nomor asing. Tanpa ragu gue membukanya, karena memang gue sering mendapat pesan dari nomor baru. Biasanya mereka akan memesan beberapa menu dari Luisine.

Chef LuiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang