"Gue pengen kita deket kayak dulu lagi."
Derry mengulanginya saat gue berkata "apa?".
"Lo tahu kan kondisi gue kayak gimana?" gue selalu merasa insecure setiap kali ada orang berusaha mendekati gue.
"Gue nggak peduli, Lu. Buat gue, lo tetep Luishara yang dulu. Yang selalu jadi rem buat gue yang sering kebablasan. Apapun yang terjadi, bagi gue lo tetep satu-satunya orang di hati gue, meski kita terpisah jarak yang sangat jauh."
Untuk pertama kalinya gue merasakan hati gue berdesir karena ucapan seorang cowok. Selama ini gue terlalu nggak peduli dan nggak pernah menganggap serius mereka. Namun entah bagaimana, ucapan Derry kali ini justru membuat gue merasa berbunga-bunga. Apa karena gue dulu sempat dekat dengan Derry?
"Lo yakin mau berteman dengan gue yang nggak selevel dengan lo, Der?"
"Lui, please! Jangan pernah rendahin diri lo kayak gitu!" tegur Derry dengan nada marah. "Nggak berlimpah harta bukan berarti lo nggak berharga."
Wajah gue memanas. Merasa tertohok dengan teguran Derry.
"Hanya untuk lo ketahui. Keadaan gue juga udah nggak kayak dulu lagi," Derry memulai. "Sejak gue ikut Mama pulang kampung, kehidupan kami berubah. Mama bekerja membantu Oma yang punya warung makan. Gue sempet putus kuliah satu semester dan kerja di pabrik. Gue baru bisa lanjut kuliah saat tabungan gue kumpul, itu pun gue ngambil kelas karyawan. Bulan depan gue baru akan wisuda."
Derry mengehela nafas sebentar. "Jadi, lo nggak perlu merasa rendah diri, terutama sama gue. Karena gue nggak lebih tinggi dari lo. Kita sama, Lui. Sama-sama sedang berjuang untuk keluarga kita."
Gue mengangguk setuju dengan ucapan Derry. Nggak tahu kenapa, hati gue jadi merasa lega. Bukan karena gue merasa bahwa kita sama-sama miskin sekarang ini, tapi karena ternyata Derry masih sama kayak dulu. Bedanya, kalau dulu Derry suka banget ngomong ngegas, sekarang tutur bicara Derry terdengar lebih lembut.
Gue mengeluarkan ponsel dan kita pun bertukar kontak. Kita terlibat obrolan seru hingga akhirnya kita memutuskan untuk pindah tempat ke taman kota. Ngobrol dengan Derry selalu terasa menyenangkan. Dia selalu bisa mengimbangi gue. Dan pada akhirnya setelah bertahun-tahun gue hidup dengan minim tawa, kali ini Derry sukses mengembalikan tawa lepas gue. Mata gue sampai merah karena terus mengeluarkan air mata saat tertawa. Segala kegundahan gue menguap, berganti dengan perasaan bahagia yang belakangan terasa sangat asing.
Derry yang sekarang jauh lebih dewasa dari yang dulu. Sebenarnya Derry adalah anak yang baik, dia berbuat onar hanya untuk melampiaskan kekesalannya akibat pertengkaran orangtuanya. Saat gue bercerita tentang kesedihan gue akibat keluarga dan Ervin yang kecewa sama gue, Derry menyentil kening gue keras. Dia rupanya setuju dengan pendapat mereka. Derry meminta gue agar tidak terlalu keras hati, yang gue iyakan dengan asal.
"Gue ditawarin kerja di kantor Om gue di sini setelah wisuda nanti. Menurut lo gimana?" Derry menanyakan pendapat gue.
Jadi kata Derry, sebelum meninggal, Papanya telah mengalihkan rumahnya di sini menjadi atas nama Derry. Sedangkan beberapa unit rukonya yang disewakan menjadi atas nama adiknya. Sementara peternakan sapinya akan menjadi milik bersama. Derry bimbang menentukan apakah dia akan kembali tinggal di sini atau tetap di Manado bersama Mamanya.
"Kalau kerjaannya sesuai sama passion lo, kenapa nggak?"
"Tapi gue nggak tega ninggalin Mama di Manado."
"Coba lo ajakin Tante Rima ikut lo pindah ke sini. Lagian di sini ada adik lo juga, mungkin Tante Rima mau pertimbangin."
Derry mengangguk. "Dita emang udah lama minta Mama buat ke sini, tapi Mama selalu menolak. Selain karena biaya buat ke sini mahal, Mama juga belum sepenuhnya bisa maafin Papa."

KAMU SEDANG MEMBACA
Chef Lui
RomantizmLuishara sudah lama ingin menyerah dengan kehidupannya yang kacau akibat ulah ayahnya, hingga dia harus mengubur mimpinya untuk menjadi chef. Tapi, bagaimana pun dia berusaha, pada akhirnya dia tetap kembali pada keluarga dan kehidupannya yang menye...