Akad

1.8K 167 3
                                    


Bagaimana pun gue berusaha untuk tidur nyenyak, nyatanya hal itu sangatlah susah untuk dilakukan. Jantung gue terlalu berdebar untuk bisa istirahat dengan tenang. Alhasil, pagi ini gue turun ke lantai bawah dengan mata sayu kurang tidur.

Aktifitas di rumah sudah cukup sibuk, meskipun akad nikah baru akan dilaksanakan pukul sebelas nanti. Mata gue memindai, mencari sosok orangtua gue yang nggak terlihat di mana pun. Gue lantas menghampiri Bude Ida yang tengah memeriksa makanan.

"Bude, lihat Mama nggak?"

"Mamamu lagi di kamar, lagi nenangin Papamu yang dari semalem mewek terus. Heran, Shanianya tenang-tenang aja kok malah si Albert yang sensitif," Bude menjawab tanpa menoleh pada gue.

"Maklum, Bude. Aku kan anak kesayangan Papa," gue membela Papa.

"Kalau sayang, nggak mungkin berkhianat!" balasan ketus dari Bude membuat gue bungkam.

Bude Ida menjadi orang terakhir dari saudara Mama yang mau memaafkan Papa atas kelakuannya dulu. Sebelumnya bahkan, Bude memaksa Mama agar berpisah saja dari Papa dan ikut Bude ke Solo. Lalu saat Mama mengatakan akan tetap mendampingi Papa, Bude menolak mengangkat telfon dari Mama hingga hampir sebulan. Sasmita lah yang mengatakan bahwa ibunya itu terus menangis memikirkan nasib kami yang menderita, sementara dirinya tak berdaya membantu karena suaminya sedang dalam kasus berat.

"Bude, udah ya. Yang dulu biarlah berlalu, jangan diungkit lagi. Nggak ada gunanya, cuma bikin sesek," gue memohon.

Bude Ida berpaling ke arah gue dengan mata berkaca-kaca. "Kamu hebat, Lui. Bude bangga banget sama kamu. Di saat semua orang mencemooh orangtua kalian, kamu justru menerima dan melindungi mereka dengan tulus."

Gue memeluk Bude yang bahunya bergetar. "Berkat doa dari Bude juga, makanya aku bisa ada di titik ini."

"Kamu harus belajar dari orangtua kamu, jangan sampai mengulangi kesalahan mereka. Berbahagialah kalian selamanya bersama anak-anak kalian nanti."

"Iya, Bude. Doakan kami agar menjadi keluarga yang harmonis dan bahagia."

"Tentu, Sayang"

Kami berpelukan untuk beberapa saat sebelum gue pamit untuk ke kamar Mama. Gue mengetuk pintu perlahan, lalu melangkah usai Mama mempersilahkan masuk. Terlihat Papa yang duduk di ranjang sambil menangis ditemani Mama di sisinya.

"Pa? Are you okay?" gue mendekati mereka.

"I'm okay. I'm happy tapi sedih juga. Papa nggak nyangka, dalam hitungan jam kedepan, anak Papa yang paling cantik ini akan menjadi milik orang lain," sahut Papa tergugu.

"Pa, aku akan tetap menjadi anak Papa meski aku udah nikah."

"I know, i know," Papa mengangguk-anggukkan kepalanya. "Papa hanya merasa sedih sedikit, tapi selebihnya Papa merasa sangat bahagia."

Gue memeluk lelaki bule yang tengah sesenggukan hingga wajahnya yang sudah merah karena berada di iklim tropis itu menjadi semakin merah. "Udah dong, jangan nangis lagi. Jangan sampai orang-orang lihat Papa jelek kayak gini. Bisa turun reputasi chef Albert yang nggak cuma handal dalam mengolah makanan, tapi juga ganteng maksimal."

Papa terkekeh begitu juga dengan Mama. "Dasar anak bandel!" Mama merengkuh tubuh gue dengan sayang.

"Bagus ya, kalian enak-enakan pelukan. Nggak inget sama aku!" gerutuan Dave membuat pelukan kami terlepas dan kami kompak memandang ke arah pintu di mana Dave berdiri dengan wajah garang.

"Sirik aja lo bocah, pergi sono. Ganggu aja!" usir gue mengibaskan tangan.

Bukannya pergi Dave malah menghambur dan melompat ke arah kami yang sukses membuat kami menjerit kaget. "Aduh, Dave! Kaki gue ketiban lo, sakit bego!" maki gue spontan.

Chef LuiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang