Kesempatan Besar

1.3K 161 3
                                    


Kesempatan yang Ervin berikan sungguh sayang untuk ditolak. Kapan lagi gue dapat orderan besar kayak gini. Apalagi dengan menerima orderan ini, secara nggak langsung gue juga bisa mempromosikan Luisine kepada seluruh tamu yang hadir.

Tapi, tentu saja gue belum sanggup menangani semua itu sendirian. Gue jelas butuh bantuan orang lain. Masalahnya, gue selama ini kerja sendiri, hanya dibantu Mama juga Dave. Itu pun untuk kerjaan yang ringan.

"Lo minta saran Mbak Rida aja, Lu. Barangkali ada temennya jaman jadi karyawan Papa dulu yang bisa bantuin," saran Ervin. Saat ini gue dan Ervin sedang merundingkan soal orderan Ervin tadi. Eriya sudah pergi bersama Ruben sejak tiga puluh menit yang lalu.

"Bener juga, siapa tahu mantan karyawan Papa dulu ada yang bisa bantuin gue. Dan yang jelas, mereka semua sudah ahli dalam hal masak-memasak. Gue nggak harus repot-repot ngajarin," gue menyetujui usul Ervin.

Dengan cepat gue meraih ponsel dan menghubungi Mbak Rida. Gue bersyukur karena Mbak Rida bersedia membantu gue dengan menanyakan pada teman-temannya. Malam ini Mbak Rida berjanji akan mengabari hasilnya.

"Mbak Rida udah nanya ke mereka. Nanti malem mau kasih kabar hasilnya," lapor gue ke Ervin.

"Bagus, semoga aja ada yang bisa bantuin lo. Lagian gue rasa, lo emang udah butuh orang buat bantuin lo."

Gue mengangguk setuju. Tapi lagi-lagi gue masih belum yakin kalau gue mampu membayar orang lain dengan layak.

"Tapi, Vin. Emang lo yakin dengan pesen katering ke gue? Tamu-tamu lo nanti bukan orang sembarangan loh, Vin. Gue takut, masakan gue nggak sesuai sama selera mereka dan berakhir bikin lo malu."

"Justru itu, karena tamu gue bukan orang sembarangan yang bikin gue yakin buat serahin urusan konsumsi ke elo, karena chef-nya juga bukan orang sembarangan," balas Ervin tanpa ragu.

"Dalam semua masakan yang lo buat, ada cita rasa dari chef Albert yang semua orang juga udah tau bagaimana istimewanya hasil masakan Papa. Dan emang hasil masakan lo sama istimewanya dengan masakan Papa. Masakan kalian itu bercita rasa tinggi, yang tentunya cocok buat menjamu tamu gue nantinya," ucapan Ervin membuat gue melambung tinggi.

"Lo cukup semangatin gue ala kadarnya aja. Nggak perlu ngelantur kayak gitu juga," bantah gue yang nggak mau jadi besar kepala.

Ervin terkekeh geli. "Wajar nggak sih kalau kualitas lo sekarang udah setara sama Papa. Secara lo kan anaknya, dan jelas lo mewarisi bakat Papa dalam diri lo. Dan lagi, Lui, lo bahkan udah pernah sekolah di Le Golden! Nggak lucu banget kalo sampe sekarang lo cuma bisa masak telor ceplok."

"Jadi sangat wajar kalau keahlian lo sekarang udah setara sama Papa. Lo hanya masih minder karena Papa punya nama yang cukup besar, sedangkan lo belum apa-apa. Makanya percaya deh sama gue, setelah lo ngisi bagian konsumsi di acara gue nanti, nama lo pasti akan mulai dilirik orang-orang," Ervin kembali meyakinkan gue.

"Iya deh, gue percaya sama lo."

"Gitu dong, lo harus lebih percaya diri. Jangan merasa terbebani dengan nama besar Papa, karena lo sama berkualitasnya kayak Papa. Untuk saat ini mungkin orang melihat lo karena lo bawa nama Papa, tapi nanti orang-orang pasti akan melihat lo sebagai chef Luishara. Tanpa embel-embel nama Papa lagi."

"Thank's, Vin," ucap gue tulus. Gue merasa harus banyak berterima kasih pada Ervin. Karena dia nggak hanya membantu urusan dapur, tapi juga selalu menyemangati gue.

"Jangan lupa, di acara gue nanti, lo bawa papan nama Luisine. Pasang di tiap stand makanan, biar orang-orang tau kalau makanan lezat yang mereka santap itu berasal dari dapur Luisine."

Chef LuiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang