1. Kehilangan Kepolosan

53.7K 664 6
                                    

POV Angela

Malam ini hujan begitu lebatnya, di luar sana petir disertai kilat yang bergemuruh menjadi satu di gelapnya malam. Suasana di sekitar terasa hening seolah tidak ada kehidupan yang dapat dinikmati, lampu-lampu di luar sana masih hidup meski sesekali akan berkedip.

Hari ini adalah hari pertama aku ditinggal sendirian oleh kedua kakak tiriku setelah kematian kedua orangtua kami beberapa hari yang lalu. Rumah ini terasa lengang dan sepi, para pelayan sudah kembali ke rumah yang disediakan oleh ayah tiriku untuk mereka.

Sebenarnya aku merasa kurang nyaman sebab kami tidak memiliki hubungan darah sama sekali, tapi aku tidak memiliki tempat untuk tinggal selain di sini lagi. Rumah lama kami sudah dijual oleh ibu ketika dia mulai tinggal di sini bersama ayah.

Ayah dan ibu memang akan menikah hanya saja mereka memang sudah tinggal bersama semenjak sebulan ini setelah pertemuan mereka kembali setelah bertahun-tahun tidak berjumpa.

Ketukan di pintu yang terdengar keras dan tidak sabaran membuatku terkejut, aku memang mendengar suara kendaraan terparkir tapi jika kakak tiriku mereka memiliki kunci cadangan masing-masing.

"Iya, tunggu sebentar!" sahutku cepat ketika ketukan itu masih saja terdengar tidak sabaran dan juga penuh nafsu.

Aku berlari ke lantai bawah untuk membukakan pintu maklum saja jika malam sudah datang semua pelayan akan pergi ke rumah paling belakang yang jauh dari rumah utama yang kamu tinggali saat ini.

"Loh, kak Alvin kenapa?" tanyaku penasaran saat melihat dirinya dibopong oleh temannya pulang ke rumah.

"Dia terlalu banyak minum, kau tolong bantu bawa dia ke kamarnya. Aku harus mengantarkan dua temanku lagi." Pria itu mendorong kak Alvin ke arahku dengan cepat sebelum berlalu pergi meninggalkan rumah kami.

Aku membawa kak Alvin ke ruang tamu, meletakkan dia di sofa dan kembali ke pintu utama untuk mengunci pintu.

Setelah selesai aku membantunya berdiri dan membawanya ke kamarnya yang tepat berada di sebelah kamarku.

"Badanmu bau sekaliz Kak!" keluhku ketika membawanya dengan susah payah.

"Ini pertama kalinya aku masuk ke kamarmu dan keadaannya darurat kau harus memaafkanku." bisikku lembut di telinganya dan membuka pintu kamarnya secara perlahan.

Kamar kak Alvin sangat rapi dengan dinding kamar di cat berwarna hitam dan abu-abu perpaduan warnanya yang sangat sempurna membuat kesan maskulin terlihat jelas di kamar ini.

"Panas," desah kak Alvin sembari berusaha membuka kancing baju atasnya.

"Panas kenapa Kak? Hari hujan dan dingin begini kau malah bilang panas," candaku sembari berusaha membaringkannya di tempat tidur.

"Kau mau kemana?" Kak Alvin menarik tanganku dengan cepat saat aku telah berhasil membantunya berbaring.

"Ke kamarku lah, Kak!" jawabku cepat.

Namun bukannya melepas tanganku kak Alvin malah menarik diriku ke arahnya hingga aku berbaring di dadanya.

Segera dia membungkam mulutnya dengan mulutnya. Aku berusaha berontak dan melawan namun apa dayaku. Tenagaku tidak sekuat tenaga kak Alvin meski aku telah mengerahkan semua kekuatan yang aku miliki ntuk mendorong tubuhnya menjauh.

"Diam dan nikmati!" bentaknya marah saat melihat perjuanganku.

Aku merasa takut, meski selama ini dia selalu bersikap dingin padaku dan ibu tapi dia tidak pernah membentak diriku seperti ini.

"Tidak, Kak! Lepas," pintaku sembari berusaha lepas dari pelukannya.

Melihat diriku terus melawan dan menentang dirinya kak Alvin menindih diriku dengan tubuhnya. Dia mengambil dasi yang dipakai di lehernya dan mengikat tanganku ke kepala ranjang. Hal ini sukses membuat diriku tidak bisa lagi melakukan perjuangan.

"Aku bilang diam ya diam saja," bentaknya keras sembari melepas pakaiannya satu-persatu.

"Kak," bisikku lembut berusaha menyadarkannya yang berada di bawah pengaruh minuman keras.

"Aku bukan kakakmu! Jangan memanggilku dengan sebutan yang menjijikkan itu." Lagi, dia membentakku dengan suara semakin keras.

Aku berusaha membuka ikatan di tanganku namun semakin kuat aku berusaha semakin kuat pula ikatan itu di pergelangan tanganku hingga menyebabkan perih.

"Aku mohon jangan!" pintaku sambil menggelengkan kepala, apalagi saat semua pakaian di tubuhnya sudah tidak ada lagi satu pun dan dia mulai mendekat ke arahku.

"Kau diam dan nikmati saja!" perintahnya padaku sembari merobek pakaian yang aku kenakan.

Tangisanku semakin keras saat tidak ada lagi satupun pakaian yang menutupi tubuhku saat ini.

Kak Alvin menciumku kembali dengan rakus sembari bermain dengan kedua bukit kembarku yang sudah terbentuk sempurna.

Ia membuka lebar pahaku dengan cepat dan berusaha untuk masuk dan menyatu bersamaku.

Aku menggelengkan kepala saat benda keras itu mulai masuk sedikit demi sedikit.

Hingga kak Alvin berhenti mendadak dan melepas ciuman kami. Ia kemudian berkata, "Ternyata kau masih perawan ya. Apa ibumu tidak mengajarimu untuk menjadi pelacur seperti dirinya?" tanyanya dengan sinis saat merasakan penghalang di tubuhku.

Dia kembali menciumku, tangannya terkadang akan meremas bagian depan tubuhku hingga membuat aku memekik kesakitan di antara kesenangan yang diberikannya padaku.

Air mataku mengalir deras dengan cepat saat merasakannya sakit yang luar biasa di bagian itu, rasa perih itu membungkam mulutku membuat tidak ada kata-kata yang bisa keluar dari bibirku.

"Kau akan menikmati semuanya setelah ini," bisiknya lembut sebelum kemudian bergerak maju mundur secara perlahan-lahan.

Dia bergerak sesuai dengan nalurinya, gerakannya semakin cepat saat kilat menyambar memperlihatkan tubuh kami yang menyatu. Kak Alvin bergerak semakin cepat dan semakin buas ketika mendengar suara rengekanku, dia seperti binatang yang bergerak menggunakan insting bukan lagi perasaan.

Gerakannya semakin cepat saat benda di dalam sana terasa semakin membengkak dan membesar, dia menatapku sinis dan sekali lagi menjamah diriku tanpa perasaan iba di hatinya. Air mataku bahkan dijilat olehnya seolah itu adalah manisan paling lezat di dunia, dia tampak puas dengan penderitaan serta kesenangan yang diberikannya padaku.

Di luar, hujan tetap mengalir deras tanpa terpengaruh oleh kedua insan yang sedang berpacu menggapai kemenangan. Nyanyian kodok semakin terdengar keras saat suara gemuruh itu semakin menghalangi suaranya, jangkrik yang biasanya bersenandung bahagia di luar sana tidak terdengar sama sekali malam ini seolah dia sedang lelah.

Kak Alvin menarik daguku ke atas dengan kuat, aku rasa akan ada bekas merah yang tertinggal di sana akibat kekuatannya yang terlalu kuat. Sekali lagi senyuman sinis itu terlihat, dia seperti meremehkan diriku yang telah berani datang ke sini bersama ayahnya.

Meski bibirnya tidak mengatakan dengan jelas tapi dari matanya sudah dapat disimpulkan kalua dia tidak senang dengan kedatangan kami ke rumah ini. Menurut ayah, kak Alvin tidak pernah pulang semenjak dia memiliki rumah di luar sana.

POV Angela end

Brother I Hate YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang