Natal, keajaiban Natal, lembaran baru di tahun baru, salju pertama layaknya dewa harapan, Tuhan?
Segalanya menyeramkan.
Aku membencinya dan aku tidak percaya.
Aku hanya makhluk miskin yang hidup di tengah keramaian dan gemerlap kota besar.
Makhluk yang hidup di gorong- gorong tanpa harapan.
Haha. Aku tertawa—Aku tak ingin mati walaupun aku menyayat kulit ku begitu pedih ketika malam.
Aku harus hidup—Bahkan, tanpa keajaiban dan kado natal di musim dingin sekalipun.
Suara decitan ranjang itu terdengar memecah keheningan malam dalam sebuah motel kecil yang terletak di pinggiran kota. Tak henti, diikuti dengan suara desahan tertahan dari bilah bibir seorang pemuda yang dipisahkan menggunakan sebuah kain berwarna hitam tampak menyakitkan diikuti suara bantingan yang kini terdengar cukup keras serta jeritan tertahan.
Kakinya kembali kembali diangkat begitu lemah dengan mata terpejam dan lengan yang bahkan tak mampu lagi mencengkam. Pipinya basah karena air mata dan juga keringat, jantungnya berpacu begitu cepat seolah sedetik kemudian jantungnya itu akan berhenti karena ketakutan.
Namun, tampaknya sosok pria yang tengah 'menyiksa' itu tidak peduli dengan sebuah tongkat yang ia arahkan pada pemuda yang ada di bawahnya, menghasilkan memar dan merah—Menambahkan memar dan biru serta menambah sedikit goresan luka entah bekas apa di setiap inchi tubuhnya.
"Ngghh—Mhhhh—"
Pemuda itu tak mampu lagi membuka matanya, tubuhnya terasa begitu sakit dan mungkin akan hancur jika dirinya membuat sedikit gerakan dan kembali dibanting. Namun, di sela rasa sakit dan harapan kehidupan itu, iris berwarna hitam arangnya perlahan terlihat untuk sekedar menatap ke arah langit melalui jendela tanpa tirai diikuti air matanya yang kembali menetes dan bibirnya gemetar.
Jemarinya perlahan bergerak dengan mata yang terpejam dan menyentuh helaian rambut merah muda yang cukup panjang, begitu lembut diikuti nafasnya yang semakin memburu. Jemari kecil itu bergerak perlahan, menggesekkan helaian rambut yang satu dengan helaian rambut lain hingga mata itu kembali terpejam dengan sedikit ketenangan yang ia dapatkan hingga gerakan pria diatasnya itu berhenti ketika suara ponsel berbunyi untuk kesekian kalinya.
"Jangan menggangguku, brengsek!"
Suara itu menggelegar dengan gerakan pinggulnya yang benar terhenti, tetapi mata itu perlahan menunjukkan tanda terkejut dan melepaskan penyatuannya di atas ranjang sederhana itu.
Matanya bergerak gelisah, pergerakkannya pun terlihat gusar dengan kaki yang kini melangkah, menggunakan pakaiannya dan melemparkan sejumlah uang di atas nacas, sebelum ia melirik ke arah pemuda berambut pink yang kini tak bergerak di atas kasur.
"Ku beri bonus—Sisanya sudah ku kirimkan ke rekeningmu"
Tak ada jawaban bahkan ketika pria itu melangkah begitu gelisah dan meninggalkan pemuda yang perlahan meringkuk, memperlihatkan beberapa memar pada kulit putih serta luka yang tampak begitu menyakitkan, seperti bekas luka gores yang dibiarkan mengering sendiri.
Helaan nafas pun terdengar dari bibir tipisnya, dengan jemari yang masih setiap memainkan rambut dan mata hitam yang kini menatap kosong ke arah pantulan tubuhnya di jendela, serta pantulan pemandangan gedung kumuh di luar yang membuat nafasnya semakin sesak.
Iris hitam nya masih kosong waluapun kelopak monolid itu perlahan menyembunyikan obsidian dengan nafas yang kembali memburu. Jemariya perlahan terulur untuk meraih selimut dan menutupi tubuh kecilnya, menutupi memar dan rasa sakit yang masih tercetak begitu jelas, kemarin, kemarin dan kemarinnya lagi bahkan sejak satu tahun yang lalu—Ia masih mengingatnya dengan jelas.

KAMU SEDANG MEMBACA
Flower From The Storm
RomanceDia indah, dan dia berada di tengah badai musim dingin yang menyeramkan tanpa perasaan. Tatapannya kosong, mimpi senja nya hilang, bahkan harapan akan malam natal nya pun tak ada. Ku pikir dia akan mati, entah besok, lusa atau ketika kembang api ber...