23.Keluarga

23 11 3
                                    

Katanya harta yang paling berharga itu keluarga. Lalu apakah aku yang dimaksud harta berharga itu?

***

Vana masuk ke rumah setelah memastikan Rafli sudah benar-benar pulang dari rumahnya.

"Vana." Panggil Mahessa kala melihat Vana masuk. Namun, Vana tidak mengindahkan panggilan tersebut dan malah terus berjalan.

"Vana, papah lagi ngomong sama kamu. Tolong dengerin papah!!" Gertak Mahessa yang membuat Vana berhenti di undak-undak tangga.

"Papah nggak pernah ya ngajarin kamu buat nggak sopan kaya gitu." Ucap Mahessa sambil berdiri dari duduknya.

"Apa? Ngajarin? Nggak salah denger nih saya? 17 tahun saya hidup di rumah ini saya nggak pernah diajari oleh anda!!" Ucap Vana yang membuat Mahessa dan Eva terpaku.

"Kalian tahu? Saya hidup di sini nggak ada yang pernah ngajarin saya. Saya nggak seperti anak-anak di luar sana yang bahagia dengan keluarga mereka, meski kekurangan biaya." Sebutir air mata mengalir ke pipi putih Vana. "Apa kalian tahu? Perasaan saya saat melihat teman-teman saya di jemput oleh orang tua mereka, apalagi saat penerimaan raport? Saya nggak nuntut lebih dari kalian. Tapi tolong pahami saya sebagai anak. Saya tanya sekarang! Semester kemarin saya dapat peringkat berapa?!" Tanya Vana sambil menatap orang tuanya.

Mahessa dan Eva saling pandang lalu menggeleng. Vana tertawa sumbang. "Masalah ini saja kalian tidak tahu, orang tua macam apa kalian? Setiap semester kalian tahu apa impian saya? Kalian hadir menerima raport saya dan bangga melihat hasilnya!! Itu yang saya impikan sejak dulu. Namun, sayang Tuhan berkehendak lain. Bi Ijah yang di takdirin buat hadir dan bangga melihat raport saya." Eva mulai meneteskan air matanya mendengar penuturan dari putrinya tersebut.

"Sudah cukup, nak." Ucap Eva dengan suara yang bergetar.

"Kenapa anda nangis? Apa dengan tangis anda akan merubah keadaan hidup saya? Setiap olimpiade yang saya ikuti, apa pernah kalian menonton saya? Kalian melihat perjuangan saya memenangkan perlombaan tersebut? Semua itu jawabannya tidak bukan?"

"Maafin kami, nak. Kami janji di setiap semester kami akan berusaha untuk hadir dan menerima raport." Mahessa mulai mendekat ke arah Vana.

Vana tersenyum getir, "Percuma, impian itu udah saya hapus. Sekarang saya tanya kalian. Apa harta berharga kalian?"

Mahessa dan Eva bingung harus menjawab apa. "Harta berharga kami, itu kamu nak." Jawab mereka tumpang tindih.

Vana mengalihkan pandangannya lalu berkata, "Jangan bohong!! Saya bukan anak kecil lagi yang bisa kalian bohongi." Ucap Vana sambil memicingkan matanya.

"Kenyataannya memang seperti itu, nak." Kini giliran Eva yang berbicara.

"Kalau memang kenyataannya seperti itu, kalian nggak akan tega melihat saya kesepian setiap hari di rumah sebesar ini." Teriak Vana menggema di seluruh penjuru ruangan.

"Kami benar-benar minta maaf, nak. Kami nggak bermaksud membuat kamu kesepian. Kami hanya ingin kamu hidup tanpa keterbatasan biaya."

Vana menggelengkan kepalanya. "Saya nggak keberatan hidup miskin, asal saya bahagia dengan keluarga saya. Mulai sekarang saya tidak akan memakai fasilitas dari kalian. Dan saya berangkat ke sekolah menggunakan angkutan umum bukan diantar jemput oleh Pak Edi lagi." Vana mengambil dompetnya di kantong belakang. Mengeluarkan ATM dan beberapa kartu kredit yang di berikan oleh orang tuanya.

Affection [Proses Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang