Yang namanya cinta itu nggak bisa dipaksa dan dituntut.
***
~Selasa~
Vana dan Citra sudah berangkat sejak pukul 06.10 pagi. Sekarang mereka sedang duduk di depan kelas Vana sambil menunggu Susi dan Refa yang belum datang.
"Hello epribadeh!!" Teriak Susi yang membuat mereka berdua kaget.
"Sus ini masih pagi loh, lo udah teriak-teriak aja. Nggak sakit tuh tenggorokan?" Vana meneguk salivanya sendiri saat mengingat tadi Susi berteriak sangat kencang.
"Kan udah kebiasaan." Ucap Susi sambil cengengesan.
Vana celingak-celinguk mencari seseorang. "Refa mana?"
Susi yang baru duduk menjawab, "Tadi sih bilangnya mau ke kelas."
Vana merasa ada yang aneh dengan Refa. Beberapa hari ini ia tidak ikut kumpul, dan Vana sekarang jarang melihat Refa.
"Sus, lo ngerasa ada yang aneh sama Refa gak sih?!" Tanya Vana membuat Susi menghentikan kegiatannya yang sedang ghibah dengan Citra.
Susi berpikir, "Iya, akhir-akhir ini Refa kaya ngehindar gitu dari kita."
"Sorry nih ya, gue bukannya mau suudzon atau gimana. Tapi lo semua mikir gak sih, ini ada kaitannya sama yang nyobek kertas formulir beasiswa Vana?" Citra tiba-tiba nimbrung membuat Vana dan Susi saling pandang.
"Kok lo bisa mikir sampe situ sih, Cit?" Susi memang sering bertengkar dengan Refa, namun Susi tahu betul tabiat Refa seperti apa. Jadi Susi pikir Refa tidak akan mungkin setega itu.
Citra bingung bagaimana cara menjelaskannya. Ia juga tidak punya bukti yang bisa mendukung asumsinya. "Ini sih cuma asumsi gue aja yah, semenjak gue pindah kesini sifat Refa kalo sama lo berdua gimana? Ramah kan? Tapi kalo sama gue kayanya judes, jutek, dan sinis banget. Terbukti pada saat gue tanya kopernya mau ditaruh dimana? Dia kaya jawabnya jutek banget. Selain itu, pada saat gue tanya boleh nggak gue jadi sahabat kalian? Refa itu kaya nampilin ekspresi nggak suka gitu. Dan satu lagi, waktu Vana dapet beasiswa yang gue liat dia kaya nggak tulus ngucapin selamet buat Vana." Ucap Citra panjang lebar.
"Lo nggak boleh suudzon gitu, Cit." Ucap Vana menasihati Citra.
"Gue bukan suudzon. Ini cuma asumsi gue."
Susi sedang memikirkan perkataan Citra. "Tapi, asumsi Citra ada benernya juga sih." Ucap Susi setuju dengan perkataan Citra tadi.
Vana diam. 'Bener juga sih kata Citra, semenjak Citra pindah kesini Refa jadi berubah. Tapi masa iya Refa yang udah sobek kertas itu? Rasa-rasanya nggak mungkin deh.' ucap Vana dalam hati.
Rival datang dengan Alvian di belakangnya. "Vana." Panggil Rival membuat ketiganya menoleh.
"Gue cuma panggil Vana." Ucap Rival ketus.
Vana memutar bola matanya, malas meladeni Rival. Saat, ia hendak masuk ke kelas. Rival menarik tangannya yang membuatnya berbalik dan menabrak dada bidang milik Rival.
"Nggak usah kabur!! Gue cuma mau kasih ini ke lo." Ucap Rival sambil memberikan kotak makan berwarna biru kepada Vana.
"Dimakan!! Ini dari mamah gue." Rival memaksa Vana untuk menerimanya. Setelah itu, ia pergi meninggalkannya.
"Udah, nggak usah dimakan Van!! Buang aja." Suruh Susi.
Bambang teman kelasnya Vana berlari ke arahnya. "Vana, lo disuruh Pak Trisno ke ruangannya." Ucap Bambang tiba-tiba membuat jantung Vana seperti ingin copot.
Vana gugup, dia harus bilang apa ke Pak Trisno tentang kertas itu?
"Mau kita temenin, Van?" Tanya Susi sambil merangkul Vana.
Vana menggelengkan kepalanya. "Nggak usah, gue bisa sendiri kok." Vana kemudian berjalan menuju ruang kepala sekolah dengan membawa kotak makan yang tadi Rival berikan padanya.
***
Dari jauh Vana melihat Pak Trisno sedang berdiri di deoan pintu. Semakin dekat jaraknya dengan ruang kepala sekolah semakin jantungnya berdetak dengan cepat.
Setelah ia sampai di depan ruang kepala sekolah, Pak Trisno menyuruhnya masuk. "Langsung masuk, Vana."
Vana masuk dan duduk setelah di persilahkan oleh Pak Trisno. "Begini Vana, saya mau tanya. Kertas kemarin sudah kamu isi dan tanda tangani?" Tanya Pak Trisno membuat Vana tambah gugup.
Vana menarik napasnya lalu menghembuskan kembali. "Sebelumnya maaf Pak, tapi kertas itu sobek." Ucap Vana lirih, namun masih bisa di dengar Pak Trisno.
"Kemarin saya kan sudah bilang sama kamu Vana, jaga baik-baik kertas itu. Jika sudah begini, kami pihak sekolah tidak akan bertanggung jawab. Dan sayang sekali, beasiswa ini cuma datang satu kali." Pak Trisno kecewa pada Vana, baru kali ini murid kesayangannya melakukan hal ceroboh.
"Ya sudah, nggak papa kok Pak." Ucap Vana sambil menunduk. "Saya ke kelas dulu ya, Pak." Vana berdiri membuat kursi yang ia duduki berdecit.
Saat Vana keluar ia di hadang oleh Zhelin dan Shufi. "Sini kotak makannya!!" Zhelin langsung merebut kotak makan yang ada di tangannya.
"Ini tuh harusnya buat gue." Ucap Zhelin sinis.
"Ooo, iya. Gue minta lo jauhin Rival!! Karena gue nggak mau Rival suka sama lo!!" Ucap Zhelin penuh penekanan.
"Yang namanya cinta itu nggak bisa dipaksa dan dituntut." Vana berkata sangat santai.
"Nggak usah sok bijak deh lo, lo mau tau nggak siapa yang udah sobek kertas lo?" Tanya Zhelin tiba-tiba membuat Vana penasaran.
"Lo tau siapa orangnya?" Tanya Vana serius.
Zhelin terkekeh sebelum menjawab, "Ya gue tau lah, kan gue ngerekam. Ya nggak Fi?" Shufi mengangguk mendengar pertanyaan Zhelin.
"Tolong!! Kasih tau ke gue, siapa orangnya." Vana memohon pada Zhelin.
"Gue bakal kasih tau ke lo, malahan videonya sekalian. Ntar sore lo kerja di cafe Island kan? Kita ketemuan disana." Setelah mengatakan itu Zhelin pergi dengan Shufi yang berjalan di belakangnya.
***
TBC...
Gimana reaksinya Vana yah, waktu liat rekaman itu?
Bikin greget deh!!See you...😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Affection [Proses Revisi]
Genç Kurgu[FOLLOW SEBELUM BACA]✓ "Sekarang gue tau perbuatan aja nggak cukup buat buktiin yang namanya cinta. Harus ada fakta yang mendukung buat buktiin kebenarannya." Vanasha Aurora Fauzi. "Nggak semua cinta bisa dibuktiin. Kadang seorang pujangga pun hanya...