Jika kau berani bahagia saat jatuh cinta. Maka, kau juga harus siap kecewa saat terluka.
***
Pagi-pagi sekali Vana sudah bangun dan bersiap-siap pergi ke sekolah. Vana keluar kamarnya dengan tas yang ia gendong di pundaknya dan rambut yang ia ikat seperti biasa.
"Non Vana, kok pagi-pagi gini udah rapi?" Tanya Bi Ijah yang sedang membereskan meja makan.
Vana duduk di salah satu kursi meja makan. "Iya, Bi. Soalnya kan Vana sekarang nggak di anter jemput lagi sama Pak Edi. Jadi Vana harus bangun pagi buat nunggu angkutan umum." Jawab Vana sambil memakan roti yang sudah di olesi selai cokelat.
"Non, maaf sebelumnya kalau bibi lancang. Non seharusnya nggak boleh gitu sama Tuan dan Nyonya. Walau gimana pun mereka itu orang tua Non. Non seharusnya bisa ngertiin mereka." Bi Ijah menghentikan kegiatannya yang sedang membersihkan meja makan.
Vana hanya tersenyum menanggapi ucapan Bi Ijah. Ternyata semua orang itu sama, mereka cuma bisa menilai tanpa bisa merasakan apa yang dia alami selama 17 tahun.
Vana menaruh rotinya yang tinggal setengah ke piring. "Vana berangkat, Bi." Pamit Vana dengan nada lesu.
Bi Ijah yang melihat Vana menjadi murung merasa tidak enak karena sudah berkata seperti itu tadi. Vana berjalan keluar dari rumah dengan kepala menunduk.
"Non mau berangkat sekarang?" Tanya Pak Edi yang berdiri di depan pintu.
"Mulai sekarang Vana nggak berangkat naik mobil, Pak. Vana mau berangkat pakai angkutan umum." Jawab Vana dengan senyum di bibirnya.
Pak Edi hanya mengangguk. Vana melanjutkan lagi jalannya menuju gerbang rumahnya. Ia membuka gerbang dan saat akan menutupnya dia terkejut karena Rival sudah duduk manis di motor besarnya.
"Baru aja gue mau masuk." Ujar Rival sambil melepas helm-nya.
"Nih pake," kata Rival sambil memberikan helm satunya lagi.
"Gue nggak mau pake helm. Berat." Keluh Vana.
Rival mendekat lalu memasangkan helm-nya ke kepala Vana. "Kalau lo nggak pake helm ntar kalau lo jatuh gimana? Gue nggak mau repot nanggung biaya rumah sakit loh. Kalau biaya nikah mah, gue mau." Ucap Rival yang dianggap bercanda oleh Vana. Padahal Rival mengatakan yang sebenarnya.
"Berangkat sekarang, yuk! Gue mau belajar hari ini gue ada ulangan harian."
Rival mengangguk lalu naik ke motornya. Vana naik ke motor Rival dengan kesusahan. Karena motor Rival sangat tinggi dan rok sekolahnya agak pendek.
"Udah?" Tanya Rival sambil melirik Vana lewat kaca spion.
Vana membenarkan rok-nya. Lalu menjawab, "Udah."
"Let's go." Rival mulai menjalankan motornya menuju ke sekolah.
Di perjalanan hanya ada suara motor yang saling bersahut-sahutan dan angin yang berhembus menerpa wajah mereka.
Rival membuka topik pembicaraan dengan bertanya lebih dulu pada Vana. "Van lo tau nggak jarak bumi ke matahari?" Rival memperhatikan Vana melalui kaca spionnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Affection [Proses Revisi]
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM BACA]✓ "Sekarang gue tau perbuatan aja nggak cukup buat buktiin yang namanya cinta. Harus ada fakta yang mendukung buat buktiin kebenarannya." Vanasha Aurora Fauzi. "Nggak semua cinta bisa dibuktiin. Kadang seorang pujangga pun hanya...