Berat ringannya kenyataan ini harus ku pikul sendiri. Tak ada yang perlu tahu atau membantuku.
***Pulang sekolah Vana menunggu angkot di halte biasa. Rival yang melihat Vana sedang duduk di halte menghampirinya.
"Naik!! Jam segini nggak akan ada bis yang lewat." Rival masih duduk di atas motor besarnya.
"Gue nggak mau naik bis." Ucap Vana datar.
Rival melepaskan helm full-facenya lalu meletakkannya di setang kanan motornya. "Terus lo ngapain di sini?" Tanya Rival.
"Nunggu angkot." Jawab Vana dengan nada datar seperti biasa.
"Udah, cepetan naik!! Lo mau ke cafe island, kan? Gue anterin ke sana." Perintah Rival dengan meninggikan nada bicaranya.
"Nggak usah," kata Vana sambil mengalihkan pandangannya. Saat ia mengalihkan pandangannya, ia melihat Zhelin sedang menatapnya tajam.
Zhelin mengibaskan tangannya seperti menyuruh Vana untuk pergi. Vana yang paham maksud Zhelin ia langsung berdiri dan berjalan pergi meninggalkan Rival yang masih duduk di motornya.
Rival memakai helm-nya lagi dan menstater motornya. Rival mengejar Vana yang berjarak belum jauh darinya. "Vana!!" Teriak Rival membuat Vana melangkahkan kakinya lebih cepat lagi.
Rival berhasil menyusul Vana dan mensejajarkan motornya dengan langkah Vana. Lalu, ia menarik tangan Vana membuat Vana berhenti.
"Ngapain sih, lo?" Tanya Vana kesal.
"Lo kok jadi ngejauh gitu dari gue?" Tembak Rival membuat Vana gugup. Ia tidak mungkin mengatakan yang sejujurnya bahwa ia disuruh menjauhi Rival oleh Zhelin. Lagi pula, ia kan sudah berjanji jika Zhelin memperlihatkan video itu ia akan menuruti persyaratan yang Zhelin berikan.
"Lo disuruh siapa buat jauhin gue?!" Vana menetralkan ekspresinya seperti biasa agar Rival tidak curiga padanya.
"Nggak disuruh siapa-siapa, gue cuma nggak mau berurusan sama cowok kaya lo!!" Ucap Vana menekankan kata 'lo' dengan jari telunjuk yang ia layangkan tepat di wajah Rival.
Rival menatap manik mata cokelat milik Vana, tersirat kebohongan di kalimat yang Vana ucapkan tadi. Rival diam seribu bahasa, Rival tahu Vana memang terpaksa mengucapkan kebohongan tersebut. Namun, rasanya dadanya sakit kala mendengar kata-kata tersebut. Seribu pisau pun tak akan membuatnya sesakit ini. Apalagi kata-kata tersebut terus terngiang-ngiang di telinganya.
Vana menghempaskan tangan Rival, lalu ia berlari sekencang mungkin.
"Lari sejauh mungkin, Van!! Karena lo nggak akan mungkin bisa lari dari takdir. Takdir yang buat kita terbelenggu di dalam cinta." Untuk pertama kalinya seorang Rivaldo menangis, apalagi alasannya karena seorang cewek yang tak pernah bisa memahami perasaannya.
Rival mengusap wajahnya kasar lalu menyalakan motornya dan pergi. Bukan untuk mengikuti Vana, melainkan pulang ke rumahnya. Untuk hari ini mungkin ia tidak akan mengikuti Vana bekerja.
***
Vana mulai bekerja 20 menit yang lalu, ia sekarang sedang membereskan meja terakhir. Saat ia baru menempelkan lap di meja kepalanya pusing. Ia mencoba menahannya, lalu ia paksakan untuk melanjutkan pekerjaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Affection [Proses Revisi]
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM BACA]✓ "Sekarang gue tau perbuatan aja nggak cukup buat buktiin yang namanya cinta. Harus ada fakta yang mendukung buat buktiin kebenarannya." Vanasha Aurora Fauzi. "Nggak semua cinta bisa dibuktiin. Kadang seorang pujangga pun hanya...