37.Perhatian

15 11 1
                                    

Kasih sayang, perhatian, dan respek tiga hal yang buat hidup seseorang bermakna. Tapi tidak dengan hidupku yang hampa ini.

***

Vana pulang lewat pintu depan, tidak lewat pintu balkon karena keadaannya yang tidak memungkinkan ini.

Saat membuka pintu, Bi Ijah langsung bertanya, "Non Vana dari mana? Kok baru pulang sih?"

Vana tidak menjawab pertanyaan Bi Ijah, ia langsung masuk ke dalam. Saat melewati ruang tamu, ia melihat kedua orang tuanya sedang duduk bersama.

"Vana, kok kamu baru pulang?" Tanya Eva dengan lembut.

Vana hanya diam dan lanjut berjalan. "Kamu mau makan apa, nak? Nanti biar mamah masakin." Tawar Eva membuat Vana berhenti.

"Nggak usah, saya nggak laper." Ketus Vana.

"Tapi muka kamu pucat banget, kamu sakit yah?" Eva khawatir pada putrinya yang terlihat pucat.

"Saya sakit pun itu bukan urusan anda." Sarkas Vana yang langsung pergi ke kamarnya.

"Udah, mamah yang sabar aja." Ucap Mahessa memberi kekuatan pada istrinya. "Coba mamah bawain makanan ke kamarnya, siapa tau dia mau makan." Lanjut Mahessa memberi saran.

Eva bergegas mengambil makanan dari dapur untuk Vana.

***

Saat Vana masuk, Citra langsung menyerbu pertanyaan padanya. "Lo dari mana aja, Van? Kok jam segini baru pulang." Vana melirik jam dinding yang terpajang di kamarnya. Ternyata sudah jam sepuluh malam.

"Gue kan kerja." Jawab Vana singkat. Ia lalu menaruh tas dan melepas dasi yang ada di lehernya.

"Lo biasanya pulang jam sembilan, hayooo ngaku!! Lo abis dari mana?" Tanya Citra dengan teriakan yang menggema di ruangan kamarnya.

"Bentar-bentar muka lo pucet banget kaya orang mati. Lo udah periksa belom sih?!" Tanya Citra lagi membuat kepalanya tambah pusing.

"Udah," kata Vana.

"Terus lo kenapa?" Pertanyaan tersebut membuat Vana terdiam sebentar. Lalu menjawab, "Gue cuma kecapean." Bohongnya agar Citra tidak khawatir tentang penyakitnya.

"Gue kira lo kenapa, yaudah lo istirahat yang cukup biar cepet sembuh. Lo udah makan kan?"

"Udah," ucap Vana berbohong lagi pada Citra.

Pintu kamar Vana tiba-tiba diketuk. "Masuk, Bi." Teriak Vana.

Pintu kamar Vana terbuka lalu muncullah sosok Eva sambil membawa nampan berisi piring yang penuh dengan makanan dan gelas yang berisi air putih.

"Maaf ya, Citra. Tante ganggu." Ucap Eva tidak enak takutnya mengganggu mereka berdua yang sedang mengobrol.

"Ooo nggak papa tante, santai aja kalau sama Citra mah." Kata Citra sambil tertawa.

"Vana, ini mamah bawain makanan. Kamu makan yah!!" Perintah Eva sambil duduk di kasur Vana.

"Saya tadi udah bilang, kan. Kalau saya nggak laper." Bentak Vana.

"Loh, tadi katanya lo udah makan Van?" Tanya Citra yang bingung.

"Tapi Vana, kamu pucet banget. Kamu harus makan, supaya kamu sehat." Eva terus memaksa Vana untuk makan.

"Saya bilang nggak laper, ya nggak. Sekarang, anda keluar dan bawa makanan ini keluar juga." Vana sudah tidak bisa mengontrol emosinya lagi.

Eva menangis mendengar perkataan putrinya sendiri mengusirnya. Sebelum ia keluar ia memandangi kamar Vana yang rapi, bersih dan juga wangi. Namun sayang, tidak seperti kamar remaja cewek pada umumnya yang kamarnya dihias dengan warna-warna cerah kamar Vana justru didominasi dengan warna gelap. Yah, kamar Vana dicat dengan warna monokrom alias hitam putih. Dan di kamar Vana tidak ada satu pun bingkai foto yang terpajang. Kamar Vana kosong layaknya hidupnya. Tidak ada bingkai foto keluarga yang menghiasi tembok kamarnya.

"Keluar sekarang!!" Perintah Vana tak terbantahkan. Eva langsung keluar sambil membawa nampan yang tadi ia bawa.

Setelah Eva keluar, Citra bertanya, "Lo kenapa sih, Van? Dia itu nyokap lo. Apa lo nggak kasihan liat dia nangis karena di bentak-bentak lo?!"

Vana menatap Citra tajam, "Apa lo tadi bilang? Kasihan? Buat apa gue kasihan sama orang yang nggak pernah kasihan sama gue? Buat apa?!"

Citra diam termenung, baru kali ini ia melihat sepupunya semarah ini. Tapi, jika ia ada di posisi Vana ia pasti juga akan melakukan hal tersebut atau malah justru lebih dari yang Vana lakukan tadi.

Citra berjalan ke kasur membiarkan Vana tenang dulu. Besok pasti Vana akan bersikap seperti biasa.

Vana masuk ke kamar mandi untuk mandi agar pikirannya tenang. Setelah selesai, ia keluar lengkap dengan pakaian tidurnya. Dilihatnya Citra sudah tertidur pulas di atas kasurnya.

Sebelum ia tidur ia meminum obatnya yang tadi ia tebus di apotek. Rasa-rasanya ia masih tidak percaya bahwa ia mengidap penyakit anemia. Sekarang bebannya jadi tambah banyak, ia harus bekerja untuk biaya sekolah dan biaya penyakitnya. Bagaimana bisa ia yang hanya bekerja sebagai waitress menghasilkan uang yang hanya untuk sekolah pun itu masih tidak cukup apalagi ditambah pengobatan penyakitnya. Apa dia sebaiknya jujur pada orang tuanya? Atau, dia minta tolong pada Citra? Tapi, jika dia meminta tolong pada Citra, dia takut nanti Citra akan membocorkan tentang penyakitnya kepada orang tuanya.

"Gue tidur aja deh, besok lagi gue pikirinnya." Vana berbaring di samping Citra sambil menyelimuti tubuhnya dengan selimut.

***

"Gimana, mah? Loh kok mamah malah nangis?" Tanya Mahessa kala melihat istrinya turun dari tangga sambil menangis.

Mahessa mengambil alih nampang yang dipegang istrinya. Lalu, ia letakkan di meja dapur. Ia kembali, dan duduk di sofa samping istrinya duduk.

"Kenapa mah? Coba cerita deh!!" Mahessa menyuruh istrinya untuk bercerita apa yang sebenarnya terjadi sampai-sampai istrinya turun sambil menangis.

"Nggak kok pah," kata Eva sambil mengelap bekas air matanya.

"Mah, cerita aja."

"Gini pah, tadi mamah kan nyuruh Vana makan. Tapi malah Vana marah dan ngusir mamah dari kamarnya. Mamah tuh cuma khawatir karena mukanya Vana tuh pucet banget." Ucap Eva menjelaskan kronologi kejadiannya.

"Mungkin Vana udah kenyang dan capek kali mau istirahat. Jadi dia nggak mau diganggu dan marah." Ucap Mahessa membuat Eva mengangguk paham.

"Iya, mungkin gitu pah."

***

TBC...

Welcome back guysss...
Silahkan be read👆
Dan jangan lupa vomen👍

See you😘

 

Affection [Proses Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang