Gue emang bukan pemuja cinta!! Tapi emang salah ya kalau gue kasih perhatian ke lo?
***"Rival, lo mau kemana?" Tanya Alvian pada Rival yang sedang buru-buru mengemasi bukunya ke dalam tas.
"Gue mau ngikutin Vana." Jawaban Rival 100% buat Alvian bingung.
Alvian duduk kembali di kursinya. "Ngapain lo ngikutin Vana?"
Rival melirik Alvian lalu menjawab dengan terpaksa. "Ya jagain di lah, hari ini dia tuh kerja. Gue takutnya dia kenapa-kenapa."
"Pffttt, lawakan lo gari sumpah!!" Alvian tertawa ngakak mendengar jawaban Rival tadi.
"Gue gak ngelawak yah." Ketus Rival sambil menggendong tasnya siap untuk pergi.
Alvian menatap Rival, "Jadi lo serius? Tapi kok bisa sih Vana kerja? Secara Vana kan anak orang kaya, ngapain juga kerja?" Pertanyaan Alvian sungguh tidak bermutu. Rival tidak meladeni boom pertanyaan Alvian. Ia langsung pergi meninggalkannya sendirian.
***
"Van, Cit gue duluan yah." Susi lalu masuk ke mobil Refa. Citra memperhatikan Refa, sekilas cewek ini memang terlihat baik. Tapi yah, namanya juga manusia. Roda aja bisa muter, apalagi sifat manusia.
Refa langsung melajukan mobilnya dengan cepat meninggalkan sekolah. "Van, sifat Refa emang gitu yah?" Tanya Citra membuat Vana mengangkat alisnya sebelah.
"Gitu, gimana?" Tanya Vana yang tidak paham.
Citra menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Yah, gitu. Judes, jutek, cuek?"
Vana tampak berpikir, "Enggak kok, Refa orangnya ramah."
Citra hanya mengangguk. "Lo pulang dulu kan?" Vana menggeleng dan menjawab, "Gue langsung ke cafe, ntar kalo jam sembilan malem lo bukain pintu balkon yah!!"
"Oke, sip." Citra menempelkan jari telunjuknya dengan jari jempolnya membentuk huruf O.
'Miris banget hidup lo Van, lo kaya tapi nggak bahagia. Lo punya segalanya, tapi lo harus jadi kaya orang yang nggak berada.' Citra berucap dalam hati melihat hidup Vana yang sepertinya tidak tertata rapi oleh takdir.
"Eeh, tuh angkotnya dateng." Tunjuk Vana membuat Citra menoleh ke arah yang ditunjuk Vana.
Rival yang baru keluar dari kelas langsung menuju parkiran kala melihat Vana dan cewek yang baru pindah tadi pagi di kelasnya naik ke angkot yang biasa Vana naiki.
Rival buru-buru menstater motornya dan memakai helm full-facenya.
***
"Gue duluan ya, Cit. Awas jangan tidur!! Ntar lo dibawa muter-muter lagi sama nii angkot." Peringat Vana sebelum turun dari angkot.
"Iya, semangat kerjanya. Jangan ngejek dong!!" Kata Citra sambil memasang muka datarnya.
Vana langsung turun karena ongkosnya nanti dibayar oleh Citra ketika dia sampai di rumah.
Vana berjalan masuk ke cafe. Di bukanya pintu dan ia tutup lagi. Seperti biasa, ia menyapa Mba Mentari, "Sore, Mba."
Mba Mentari tersenyum lalu balik menyapa Vana. "Sore juga, Vana."
Vana masuk ke ruang ganti untuk mengganti seragam sekolahnya dengan baju pelayannya. Vana keluar setelah ia selesai mengganti seragamnya.
Saat ia keluar, dan hendak membersihkan meja seperti biasa. Ia melihat Rival masuk ke cafe dengan koran yang ia pegang di tangan kanannya.
Vana menghampiri Rival karena penasaran untuk apa cowok itu kesini?
"Lo ngapain kesini?" Rival yang baru saja mau duduk di meja nomor 05 terkejut karena pertanyaan dari Vana.
Rival menghadap Vana lalu menjawab, "Ngikutin lo." Jawab Rival dengan santai.
Vana mendelik, untuk apa coba cowok ini mengikutinya? "Buat apa lo ngikutin gue?"
Rival menatap dalam manik mata milik Vana. "Gue cuma mau mastiin kalau lo nggak kenapa-kenapa."
Vana tersenyum kecut. "Nggak usah sok perhatian lo!" Ucap Vana sinis.
Rival masih menatap Vana. "Gue emang bukan pemuja cinta!! Tapi emang salah ya kalau gue kasih perhatian ke lo?" Vana diam tidak bisa berkata-kata mendengar pertanyaan dari Rival.
"Kenapa diem?" Rival bingung kenapa Vana hanya diam saat ia bertanya. Biasanya Vana akan menyangkal seribu pertanyaan yang diberikan olehnya.
Rival mendekat, mengikis jarak antaranya dengan Vana. Lalu ia berbisik tepat di telinga Vana. "Semua yang gue lakuin itu karena gue cinta sama lo. Sekecil apapun perhatian yang gue kasih itu cuma buat lo, Vanasha Aurora Fauzi." Ucap Rival dengan menekan nama panjang Vana di akhir kalimat.
Tenggorokan Vana rasanya tercekat, sampai ia tidak bisa mengatakan satu kata pun dari mulutnya.
Rival mundur lalu duduk di kursi yang berada di sampingnya. Vana masih terpaku dengan kalimat yang Rival tadi ucapkan tepat di telinganya.
Saat, Vana sadar ia langsung berbalik badan dan pergi. Semua gerak-gerik Vana tidak luput dari mata Rival. Bahkan saat Vana berbalik badan dan pergi Rival tersenyum melihat tingkah Vana.
"Aneh, tapi gue suka." Ucap Rival pelan.
Vana melanjutkan pekerjaannya lagi, ia membersihkan semua meja yang kosong pengunjung. Vana agak risih karena sedari tadi Rival terus memperhatikannya.
Semua pekerjaan Vana selesai dengan cepat hari ini. "Mba, aku udah selesai. Aku pulang duluan ya!!" Pamit Vana dengan tas yang menempel di pundak kanannya.
"Hati-hati, Van!!" Mba Mentari melambaikan tangannya pada Vana. Rival yang melihat Vana hendak keluar dari cafe langsung mengejarnya.
"Vana!!" Teriak Rival. Vana terus berjalan, ia malah berjalan lebih cepat agar Rival tidak bisa mengejarnya.
Rival mencekal tangan Vana saat ia berhasil mengejar Vana. Vana berhenti, lalu berbalik badan.
"Apa?!" Tanya Vana dingin.
"Lo pulang sama gue ya!!"
Tiba-tiba Zhelin datang. "Rival." Panggil Zhelin sambil bergelayut manja di tangan Rival.
Rival berdecak kenapa cewek ini datang dimana saja dan kapan saja. Dia curiga jangan-jangan cewek ini cewek jadi-jadian.
"Kamu bisa anterin aku nggak?" Tanya Zhelin dengan nada yang dibuat-buat membuat Vana ingin muntah.
"Udah mending lo anterin nii cewek aja!!" Perintah Vana sambil menunjuk Zhelin.
"Lo dateng kesini sendirian kan?" Zhelin mengangguk. "Ya lo pulang sendiri lah." Rival melepaskan tangan Zhelin. Vana tidak ingin membuang waktunya dengan mendengarkan mereka berdebat.
***
TBC...
Vote dan komen jangan lupa!
Makasih buat yang udah baca😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Affection [Proses Revisi]
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM BACA]✓ "Sekarang gue tau perbuatan aja nggak cukup buat buktiin yang namanya cinta. Harus ada fakta yang mendukung buat buktiin kebenarannya." Vanasha Aurora Fauzi. "Nggak semua cinta bisa dibuktiin. Kadang seorang pujangga pun hanya...