Hidup itu butuh perjuangan, begitupun cinta.
***
"Pagi, Va-" ucap Citra terhenti kala melihat muka Vana yang lebih pucat dari kemarin.
"Muka lo kok serem sih, jadinya." Kata Citra membuat Vana melotot.
"Coba lo ngaca dulu deh." Suruh Citra membuat Vana berdiri menuju kaca di kamarnya. Ia melihat wajahnya yang semakin pucat dari kemarin.
"Tuh kan, gue bilang apa. Muka lo itu pucet banget." Ujar Citra di dekat telinga membuat Vana kaget.
"Dahlah, paling juga gue kurang istirahat." Citra langsung menarik tangan Vana dan mendudukkan Vana di tempat tidur lagi.
"Yaudah, sekarang lo istirahat aja. Lo nggak boleh sekolah dulu, sampai lo bener-bener sembuh." Perintah Citra membuat Vana mendengus.
"Cit, gue tuh nggak papa. Dan gue mau sekolah." Vana berdiri dan langsung ngibrit ke kamar mandi.
Citra menggedor-gedor pintu kamar mandi. "Vana, buka!! Lo harus istirahat, lo nggak usah sekolah dulu. Ntar gue izinin ke wali kelas lo. Vana!! Buka!!" Citra terus menggedor-gedor pintu kamar mandi membuat Vana kesal.
Vana yang masih di dalam kamar mandi heran karena di luar sepi. Apa Citra capek? Atau dia malah sarapan dulu? Aah, itu semua nggak penting, yang penting dia bisa mandi dengan tenang tanpa ada gangguan.
Ia keluar dengan seragam sekolah yang melekat di tubuhnya. "Lo budeg ya, Van? Gue gedor-gedor tuh pintu ampe tangan gue mau patah lo nggak bersuara sama sekali." Gerutu Citra yang berdiri di dekat pintu kamar mandi dengan menyandarkan tubuhnya.
"Salah siapa lo mau gedor-gedor tuh pintu?!" Tanya Vana nyolot.
"Ishh, lo beneran mau sekolah?" Tanya Citra yang jelas dijawab iya oleh Vana.
"Lah, ini gue dah pake seragam. Artinya, gue tetep mau sekolah." Citra pasrah dengan keputusan Vana. Ia lalu mendorong tubuh Vana karena jalan masuk ke kamar mandi terhalang.
Vana duduk di kursi riasnya, memperhatikan wajahnya yang semakin hari pasti akan semakin pucat. Itulah keluhan penyakit anemia aplastik yang ia idap.
"Hayoo!! Ngelamunin apa lo?!" Hampir saja jantung Vana mau copot. Citra ini memang senang sekali membuatnya kaget.
"Lo udah siap?" Tanya Vana mengalihkan topik yang Citra buat.
"Udah nih, yok ke bawah. Gue udah laper nih." Citra mengelus-elus perutnya yang membuat Vana geleng-geleng kepala.
Vana mengambil tasnya di atas kursi, lalu keluar kamar. Vana dan Citra menuruni tangga bersama-sama sambil membicarakan hal yang membuat mereka tertawa. Saat akan berjalan ke meja dapur, langkah Vana terhenti karena ada kedua orang tuanya yang sedang sarapan bersama.
"Ayo, Van." Ajak Citra.
"Lo aja deh, gue tungguin lo di depan." Citra pasrah, ia tidak mau Vana jadi marah padanya gara-gara ia memaksanya untuk sarapan bersama kedua orang tuanya.
Saat Vana melanjutkan jalannya, Mahessa memanggilnya. "Vana!! Sini nak sarapan. Ayo Citra kamu juga." Vana tetap diam di tempatnya, sedangkan Citra sudah duduk di samping Eva.
"Saya langsung berangkat aja. Cit gue duluan yah, lo minta dianterin aja sama Pak Edi." Vana berlalu pergi membuat kedua orangtuanya kecewa.
"Ini tante yang masak?" Tanya Citra mencoba mencairkan suasana.
"Iya, tadinya tante masak buat Vana. Tapi kayanya Vana nggak laper. Yaudah, kamu aja ya yang makan." Ucap Eva membuat Citra kasihan.
Citra mengambil nasi di piringnya disertai lauk-pauk yang tersaji di atas meja. Citra menyuapkan satu sendok ke mulutnya. Rasa yang pertama kali Citra rasakan adalah enak. "Sumpah tante, ini tuh enak banget. Vana kok bisa sih nyia-nyiain makanan seenak ini." Ucap Citra memuji masakan Eva.
Eva yang mendengar pujian dari Citra tertawa. "Di habisin ya Citra." Suruh Eva membuat Citra mengangguk patuh.
Lima belas menit Citra sudah menyelesaikan makannya. "Tante, om aku pamit sekolah dulu yah." Pamit Citra sambil menyalami tangan Mahessa dan Eva.
***
Vana sudah lebih dulu sampai di sekolah sendirian, tanpa Citra. Pasti nanti Citra mengomelinya ketika ia sampai.
Ia berjalan di koridor hendak ke kelasnya. Tiba-tiba Alvian memanggilnya sambil berlari-lari. "Vana!!" Teriak Alvian menggema di koridor.
Vana berhenti. "Vana, gue bisa ngomong sama lo nggak?" Tanya Alvian saat ia sudah ada di depan Vana.
"Ngomong apa?" Vana malah balik bertanya.
"Lo mau nggak bantuin gue?!"
Vana mengerutkan keningnya. "Bantuin apa?"
"Bantuin gue biar deket sama Susi. Lo mau kan?" Tanya Alvian membuat Vana terkikik.
"Kalo soal itu mah, gue bisa." Ucap Vana membuat Alvian berbinar senang.
"Terus gimana caranya?"
"Vana." Citra berlari menghampiri Vana dan Alvian dengan wajahnya yang terlihat marah.
"Van, lo gila yah? Masa gue ditinggal sendiri sih? Untung aja Pak Edi mau nganterin gue!" Ucap Citra sambil mengerucutkan bibirnya.
"Hah!! Gue tau gimana caranya." Teriak Vana membuat Citra dan Alvian terkejut.
"Gimana?" Alvian bertanya pada Vana.
"Lo pura-pura aja suka sama Citra. Susi kan orangnya cemburuan, pasti lama-lama dia greget terus nyatain perasaannya sama lo. Kalau dia suka sama lo. Kalau enggak ya berarti itu nasib lo." Saran Vana membuat Alvian menoleh ke arah Citra.
"Apa lo?!" Tanya Citra jutek.
"Van, lo yang bener aja. Gue sama nii orang? Nggak ada yang lain apa?" Keluh Alvian membuat Vana menggeleng.
"Kalau lo emang mau Susi suka sama lo, ya gitu caranya." Alvian pasrah dengan saran yang diberikan Vana. Ini saatnya ia memperjuangkan cintanya.
"Pliss ya, lo bantuin gue!! Ini demi cinta gue." Ucap Alvian memohon pada Citra.
Citra yang kasihan melihat Alvian sampai memohon-mohon seperti itu lantas mengiyakan. "Iya dah, gue bantuin."
"Yesss, thank you." Ucap Alvian girang sambil meninjukan tangannya ke udara.
"Pokoknya lo ikutin aja alurnya." Ucap Vana sebelum pergi meninggalkan Alvian. Citra menyusul Vana yang sudah jalan lebih dulu.
"Yuhuuu, akhirnya gue bisa dapetin cinta gue." Teriak Alvian membuat semua murid memperhatikannya.
Alvian yang diperhatikan hanya nyengir lebar. Lalu, berjalan ke kelasnya.
***
TBC...
Sebegitunya perjuangan Alvian😂
Kira-kira Susi nerima Alvian nggak yah?!Happy reading☺️
Jangan lupa arahin jari manis kalian buat tekan bintang di pojok kanan bawah.👍
KAMU SEDANG MEMBACA
Affection [Proses Revisi]
Jugendliteratur[FOLLOW SEBELUM BACA]✓ "Sekarang gue tau perbuatan aja nggak cukup buat buktiin yang namanya cinta. Harus ada fakta yang mendukung buat buktiin kebenarannya." Vanasha Aurora Fauzi. "Nggak semua cinta bisa dibuktiin. Kadang seorang pujangga pun hanya...