Gue nggak bisa apa-apa, yang gue bisa sekarang cuma nyemangatin lo lewat doa.
***
"Ingat!! Jangan ada yang nyontek atau ngepek. Kalau ada dan ketahuan saya anggap dia nggak mengerjakan." Peringat Bu Fatma guru matematika yang sedang mengajar di kelas Vana. Dari tadi Bu Fatma keliling dari meja pojok kanan depan sampai meja pojok kiri belakang.
Vana sedari tadi tidak bisa fokus mengerjakan soal ulangan. Pikirannya traveling terus kemana-mana.
"Vana, kamu kenapa? Kamu sakit?" Bu Fatma yang sedang melewati meja Vana dan Rafli bertanya karena Vana tidak seperti biasanya. Mendengar Bu Fatma bertanya seperti itu pada Vana, Rafli jadi menoleh.
"Nggak kok, Bu." Vana menggelengkan kepalanya. Lalu, melanjutkan mengerjakan soalnya lagi.
"Lo sakit, Van?" Tanya Rafli berbisik, takut Bu Fatma mendengarnya.
Vana menoleh lalu menggeleng sebagai jawaban.
Terhitung sudah satu jam lebih kelas Vana melaksanakan ulangan harian matematika. "Ayo, ayo, kalian mau istirahat nggak? Masa dari tadi belum ada yang selesai!" Bu Fatma mengetok-ngetokkan spidol ke meja.
Vana sudah selesai, tapi dia masih ragu untuk menyerahkan jawabannya. Dia menarik napas dan menghembuskan napasnya untuk menetralkan keraguannya.
Lalu melangkah ke meja guru untuk mengumpulkan lembar jawabannya. "Ini, Bu. Saya sudah selesai." Bu Fatma mendongakkan kepalanya ke depan. Dilihatnya Vana murid kebanggaannya sedang berdiri dengan lembar jawab yang ia pegang.
"Coba sini saya lihat!" Vana memberikan lembar jawabnya pada Bu Fatma. Bu Fatma mulai mengecek satu persatu jawaban Vana.
Bu Fatma menatap muridnya ini dengan tatapan kecewa. "Saya agak kecewa dengan nilai kamu hari ini Vana. Tidak biasanya kamu dapat 9. Kamu selalu dapat nilai 10 di setiap ulangan. Kenapa hari ini nilai kamu turun?" Tanya Bu Fatma.
"Kamu harus banyak belajar Vana, bulan depan akan ada olimpiade matematika tingkat Nasional. Dan saya akan pilih kamu sebagai perwakilan sekolah ini. Saya harap kamu tidak mengecewakan saya." Lanjut Bu Fatma.
"Baik, Bu." Vana langsung pergi ke luar kelas. Dia duduk di bangku panjang depan kelasnya. Entah kenapa pikirannya sangat kacau sekarang. Vana menunduk lalu ada sebuah kaki yang berhenti tepat di depannya. Vana mengangkat kepalanya menjadi menghadap ke depan.
"Lo kenapa?" Tanya Rival sambil duduk di samping Vana.
Vana hanya diam, tidak menjawab pertanyaan dari Rival.
"Lo marah sama gue?" Tanya Rival lagi yang membuat Vana menoleh ke arahnya.
"Kenapa gue harus marah?"
Rival menatap manik mata milik Vana. "Ya, marah soal yang tadi." Vana tahu maksud Rival soal yang tadi itu apa.
"Buat apa gue harus marah? Gue bukan siapa-siapa lo. Gue nggak ada hak buat marah. Kecuali kalau gue pacar atau gebetan lo itu wajar aja." Ucap Vana sambil terkekeh.
"Gue kira lo marah." Ceplos Rival.
"Ya enggak lah." Vana tersenyum miris.
KAMU SEDANG MEMBACA
Affection [Proses Revisi]
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM BACA]✓ "Sekarang gue tau perbuatan aja nggak cukup buat buktiin yang namanya cinta. Harus ada fakta yang mendukung buat buktiin kebenarannya." Vanasha Aurora Fauzi. "Nggak semua cinta bisa dibuktiin. Kadang seorang pujangga pun hanya...