-38-

2.7K 183 203
                                    

Keputusan

¤¤•¤¤

Setelah kepulangan ayah Ayana dari rumahnya kemarin, Alfin tidak banyak bicara. Hanya diam dan sedikit menjawab. Lebih suka berdiam di kamar dan hanya keluar saat waktu shalat. Alhasil, pria itu sakit sekarang.

"Diem, jangan banyak gerak."

Alfin mengangguk samar saat sang ibu menitahnya. Rasa dingin langsung menjalar begitu handuk kecil nan absah itu menempel di dahinya.

"Kamu tuh, ini juga salahmu. Kamu yang salah, kamu yang bingung. Mangkanya, jangan banyak tingkah. Ini akibatnya. Memang kamu gak memperhatikan Appamu dulu ya? kamu gak lihat ibu dulu? Kamu gak bayangin itu terjadi sama Ayana?"

Alfin hanya bisa memejamkan matanya mendengarkan sang ibu yang terus mengomel hal yang sama.

"Al udah minta pisah sama Jane. Tapi dia gak mau."

"Ya itu hak mu, Al. Tapi ibu gak maksa. Kalau kamu masih mempertahankan Jane, artinya kamu harus siap kehilangan Ayana dan Bilal. Untuk satu emas, kamu rela kehilangan dua permata. Kamu paham maksud ibu kan?"

Alfin membuka matanya, menatap sang ibu yang duduk di samping ranjangnya.

"Ibu bukannya maksa kamu pisah sama Jane. Tapi tindakanmu gak bisa dibenarkan sampai sekarang, Al. Ibu gak setuju dengan pernikahanmu. Ibu rasa pernikahanmu itu memang dari awal gak sah. Kamu hanya melakukan itu semata-mata menenangkan Pak Agus yang sakit keras. Udah, itu menurut Ibu. Pernikahanmu cuma kaya simulasi nikahan anak SMA, Al."

Hana menghembuskan nafas setelah mendengar kembali perkataan ibunya.

"Keputusan di tanganmu, Al."

Setelah mengatakan itu Hana beranjak dari kamar Alfin. Di bawah tangga, Hana berpapasan dengan Jane yang membawa nampan berisi semangkuk bubur dan segelas air.

"Jane mau bawa ini ke kamar Kak Alfin. Boleh kan?"

Hana mengangguk singkat sebelum berlalu kembali. Jika boleh jujur, Hana jadi sedikit tidak menyukai Jane. Dia jadi ingat kejadian lampau yang juga cukup menyakitkan untuknya. dia tau benar bagaimana perasaan Ayan. Hana tau Ayana pasti sangat kecewa pada anaknya yang ternyata mengikuti jejak keb**kan ayahnya yang kini ada di Korea.

Jane membuka pintu perlahan. Dia melihat Alfin yang tengah berbaring di ranjang dengan kompres yang menempel di dahinya.

"Assalamualaikum. Kak, boleh masuk?"

Jane mengetuk pintu beberapa kali. Alfin membuka mata, dia melihat Jane yang berdiri di ambang pintu sambil membawa nampak itu mengangguk, mempersilahkan wanita itu masuk.

"Mas, kamu belum makan. Makan dulu ya? habis itu minum obat," kata Jane.

Alfin bangkit perlahan setelah meletakkan kompresannya ke baskom. Pria itu tersenyum tipis, hampir tidak terlihat sebelum meraih mangkuk berisi bubur hangat dari Jane.

"Aku suapi, ya?" tanya Jane agak ragu.

Alfin langsung menggeleng. "Gak usah. Aku gak papa."

Jane mengangguk mengerti.

"Aku gak nemu obat apapun. Aku gak biasa di rumah ini, jadi gak tau. Kakak ada obat gak?"

"Di laci, cari aja," jawab Alfin.

"Laci ini?" tanya Jane sambil menunjuk nakas berlaci di samping ranjang. Alfin mengangguk kemudian meneruskan makannya.

Jane membuka laci itu. Dia mengorek isinya dan pergerakannya terhenti saat melihat sebuah benda kecil di dalamnya.

Because of God [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang