-49-

3.6K 187 24
                                    

Kamu dan Kenangan

**

Cahaya matahari begitu jahil mengganggu tidur pria yang nampak begitu kelahan, bukan hanya fisik, tapi juga batin dan pikiran. Dia-Alfin, si pria yang nampak mulai terusik dengan suara keramaian dan cahaya yang cukup menyilaukan.

Alfin membuka matanya perlahan. Beberapa saat kemudian dia bisa dengan jelas melihat ada dimana dia sekarang. Ya, di ruangannya. Alfin semalam memang tidak pulang dan memilih tidur di sofa yang ada di ruangannya.

Ada beberapa hal yang mengganjal begitu dia mulai tersadar. Kebisingan dan cahaya yang terang langsung membuatnya gelagapan. Alfin meraih ponselnya, benar saja, sudah pukul setengah tujuh dan Alfin melewatkan shalat malam dan shalat subuhnya. Hal ini sontak membuatnya berjingkat. Dia bergegas mengambil wudhu dan menunaikan shalat subuh. Entah diterima atau tidak, yang penting Alfin ikhlas. Gurunya di SMA pernah mengatakan, jika kita bangun kesiangan dan belum melaksanakan shalat subuh, boleh dilaksanakan begitu bangun, entah jam berapa saja asal tidak diulangi lagi.

Setelah selesai shalat, Alfin berniat menjenguk Jane dan Ayana sebelum pulang untuk mandi dan berbenah. Pertama, Alfin menjenguk Jane karena memang ruangannya tidak jauh dari ruangan Alfin.

Alfin memasuki ruangan sunyi dimana hanya ada bunyi dari beberapa peralatan medis di sana. Alfin menghembuskan nafas sebelum duduk di sebuah kursi di dekat ranjang pesakitan Jane.

Sejujurnya Alfin terlalu lelah. Tapi Alfin tau jika semua ini adalah ujian dan harus dia jalani dengan mengerahkan segala tenaganya. Alfin yakin, akan ada akhir yang indah nantinya. Entah keindahan itu dalam bentuk kebersamaan, atau perpisahan. Yang jelas, Alfin akan selalu meyakini apapun yang menimpanya adalah takdir dari Allah dan Alfin tidak bisa mengelaknya. Yang bisa dia lakukan adalah HIITSS, ya, husnudzon, ikhlas, ikhtiar, tawakkal, syukur, dan sabar. Enam kata itulah yang menjadi prinsip hidupnya. Sedari muda, tepatnya sedari menjadi anak dari ayah angkatnya, Alfin memegang teguh prinsip itu.

Alfin pernah berada di masa sulit, pernah berada di masa kelam yang hampir merenggut keimananya dan merenggut masa depanya. Tapi Alfin patut bersyukur bisa bertemu mendiang ayahnya yang begitu telaten mengajarkanya tentang agama sehingga dia pun bisa mengajarkannya pada Ayana, Aisyahnya yang dia cinta.

Alfin menghembuskan nafas sekali lagi kemudian mengusap kepala Jane sambil tersenyum.

"Aku harap kamu bisa bertahan. Bertahan semampu kamu, Jane. Aku tau, kamu wanita yang kuat kan? Kamu juga bukan pembawa sial, kamu gak boleh ngomong gitu. Aku awalnya memang terpaksa menerima kamu, tapi makin kesini aku ikhlas, karena aku tau ini udah jalannya. Kamu juga harus tau, Ayana pasti memaafkan kamu karena aku juga tau, Ayana itu wanita yang sangat baik. Baik banget, sampai aku pun gak pantas ada di sampingnya dan bersama dia. Ayana pantas mendapat yang lebih baik dari aku."

Alfin menghela nafas kemudian menghapus cairan bening yang mengalir dari pelupuk matanya. Pria itu tersenyum sambil menatap wajah Jane yang nampak makin pucat.

Tok tok tok.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Alfin berbalik untuk melihat siapa yang dattang. Dia tersenyum saat menemukan ibu dan kakaknya yang baru saja membuka pintu dan masuk ke ruangan itu.

"Ibu, Kakak? Pagi-pagi udah disini aja," kata Alfin kemudian bangkit untuk mencium tangan ibunya.

"Ibu sengaja datang karena kamu gak kasih tau ibu kalau Jane collabs, padahal kamu kemarin ke rumah," kata Bu Hana.

Alfin hanya membalasnya dengan senyuman. "Jane collabsnya habis Alfin pulang dari rumah kakak. Baru aja nyampek langsung dapat kabar Jane udah begini," kata Alfin.

Because of God [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang