Part. 2 | Little Thing's About Us

237 42 2
                                    

Aroma sedap yang menggelitik perut hingga ke usus. Ah, masakan ibu memang yang paling ampuh mengobati perut lapar dan juga--kerinduan.

Jam kecil di meja nakas sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, yang artinya Nana harus segera bangun dan bersiap untuk bekerja.

Ia segera menyusul ibunya di dapur, duduk di base mini yang tingginya ia sesuaikan dengan kondisi ibu saat ini.

Lumpuh, dan hanya bisa mengandalkan kursi rodanya untuk bergerak.

Kedua tangan mungilnya segera merengkuh tubuh lemah itu, melepaskan sedikit rindu yang semalam sempat tertahan. Itu karena ibu sudah tidur saat Nana pulang. Biasanya ibunya akan menunggu hingga Nana sampai dirumah, tapi agaknya semalam ibunya itu kelelahan dan alhasil ketiduran di sofa depan TV.

"Kau sudah bangun? " Tanyanya lembut. Nana mengangguk mengiyakan. Kemudian ia segera duduk di base itu untuk sarapan. Ia terus memandangi ibunya yang pucat dan semakin kurus itu.

"Sudah kubilang diam dirumah saja, tidak usah bekerja." Sela Nana di tengah-tengah kunyahannya. Dikatakan begitu karena Nana melihat sarung tangan dan baju kotor bekas lumpur yang belum kering di jemuran.

Ibu tersenyum hangat. Memang jika terkadang bosan dirumah ibu akan pergi ke rumah paman Shin, tetangga mereka untuk membantu menjemur rumput laut dan beberapa hewan laut untuk dijadikan makanan atau camilan. Upahnya memang tak seberapa. Tapi ibu tetap melakukannya dengan alasan ingin membantu keuangan putrinya.

"Ibu hanya bosan dirumah. " Tentu saja hal itu membuat Nana jadi berpikir dua kali untuk menerima tawaran Irene beberapa hari yang lalu.

Keponakannya itu pernah bilang pada Nana agar ibunya tinggal saja di Busan bersama Irene dan bibi. Lagi pula mereka hanya tinggal berdua, bibi juga sering kali mengeluh kesepian saat dirumah. "Apa aku Terima saja tawaran Irene? "

Ibunya itu diam sejenak. Nana sudah beberapa kali menolak tawaran itu karena tak ingin merepotkan Irene nantinya. Ia juga sudah beberapa kali berdiskusi dengan ibu soal ini, tapi ibu selalu bilang 'terserah padamu saja' karena sudah pasrah dengan keadaan.

Apalagi Irene terus meyakinkan jika dirinya akan sangat senang menerima kehadiran ibu, dan barang kali ibu Irene jadi tidak bosan lagi karena memiliki teman berbincang di rumah.

"I--bu hanya tak ingin meninggalkanmu. Siapa yang akan mengurusmu nanti? " Itu hanya sebuah alasan. Nana tahu bukan itu maksud sebenarnya.

Memang hal yang menakutkan. Apa lagi Nana sering pulang tengah malam demi bekerja, hingga lupa istirahat, makan juga tak teratur. Jika tak ada ibunya siapa lagi yang akan mengurusnya nanti? Segala sesuatunya saja masih mengandalkan sang ibu.

"Ibu tak perlu khawatir, aku sudah besar. Aku bisa mengurus diriku sendiri. Aku hanya tak ingin ibu terus-terusan bekerja seperti ini. " Khawatir. Memang. Nana hanya tak ingin membuat ibunya kesulitan menjalani semuanya. Biar Nana saja.

Sepertinya ibu mulai pasrah. Semuanya memang benar-benar sulit bagi mereka. "I--bu terserah padamu saja. " Lagi. Keputusan yang berat, tapi tak ada gunanya pula berdebat argumen dengan putrinya. Pasti tetap kalah.

"yang benar? " Sekali lagi mencoba meyakinkan. Dan di sahut anggukan oleh ibunya.

Semakin kesini Nana semakin tak keberatan jika ibu pindah ke Busan. Ada banyak hal baik yang bisa di dapat dari keputusannya saat ini. Nana juga tak khawatir lagi dengan keadaan ibu saat ini, meski hanya bisa mengandalkan kursi roda saja nyatanya ibu bisa melakukan aktivitas pribadinya sendiri dengan baik, tanpa dibantu. Jadi hal ini tak akan menyusahkan Irene dan bibi terlalu sering.

"Baiklah, aku akan segera menghubungi Irene dan mengatur semuanya. Dan jangan marah padaku, aku hanya tak ingin mereka menyakiti ibu terlalu sering. " Bisik Nana di akhir kalimat.

Ibu mengangguk pasrah setelah tahu apa yang dimaksud putrinya itu.

"Aku berangkat ya, aku sayang ibu. " Berakhir dengan sebuah kecupan. Dan Nana segera melenggang pergi, memulai aktivitas seperti biasanya lagi.

...

Hwang Jeremy mengetuk pelan sebuah pintu dengan plangkan bertuliskan 'Ruang Direktur' dibagian atasnya. Setelah mendapat perintah untuk masuk, ia segera berjalan lurus dan berhenti di depan meja kerja milik atasannya.

Justin melirik nya sejenak kemudian matanya fokus lagi pada kertas-kertas perusahaan dan bolpoin master piece di kedua tangannya.

Kemudian Jeremy meletakkan map berwarna biru tua di mejanya. Tanpa melihatnya saja Justin sudah tahu jika itu adalah sebuah proposal pengajuan kerja sama untuk perusahaannya.

"Sudah ku bilang untuk fokus saja pada Yamyang Grup. " Ujarnya kemudian. Masih diposisi yang sama, tak menggubris apa pun selain angka-angka yang kini berbaris rapi di otaknya.

Jeremy sedikit merapikan jas dan kemejanya sejenak sebelum memberikan tatapan percaya diri pada proposal itu. "Siang ini saya sudah mendapat 5 email dengan akun yang sama. Madam Choi menanyakan tentang persetujuan kerja sama terhadap KR grup." Jelasnya lagi.

"Ehm, Lalu? "

Ini sangat menarik. Jika sebelumnya Jeremy akan segera memblokir akses kerja sama bagi perusahaan yang Justin tidak suka atau tidak setuju sekalipun. Maka seharusnya ia juga melakukan hal yang sama pada KR Grup.

Mengingat perusahaan tersebut sudah 7 kali mengirim proposal kerja sama ke perusahaan JEON C. dan dengan lantang Justin menolak kerja sama itu dengan alasan tidak tertarik.

Tapi, setelah mendapat beberapa informasi baru dari bawahannya kemarin, Jeremy benar-benar memutar otaknya 180 derajat berbalik saat itu juga.

Dibilang aneh juga tidak, dibilang mustahil tapi inilah sebenarnya yang terjadi. Semua hal selama Justin tak tertarik atau tak menginginkannya maka Jeremy akan mengikutinya, tapi agaknya kali ini atasannya itu harus tahu lebih dulu sebelum memutuskan.

Belum beralih dari tempatnya berdiri. Agaknya Jeremy benar-benar menginginkan atasannya itu membaca proposal itu barang selembar saja.

Justin tampak mendorong punggungnya ke kepala kursi sambil melihat wajah sekertaris pribadinya yang datar itu.

Malas berdebat, akhirnya Justin membuka proposal itu. Setelah dibukanya lembar kedua, ia sedikit terkejut. Yah, Jeremy menyelipkan beberapa informasi yang barusan ia dapat di sana.

Justin mulai mengamatinya perlahan. Oke, sepertinya ia mulai tertarik.

"Ini---serius? " Tanyanya tak percaya.

"Belum pasti. Tapi tak ada salahnya untuk curiga. "

Justin diam sejenak, ia kembali memasang wajah serius tak percaya. "Lalu, kau mau menyelidikinya? " Tanya Justin ragu.

"Jika Anda tak keberatan. "

...

Love Hurt'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang