Part. 22 | Justin's Mother

131 20 4
                                    

Deg!

"Masuklah, Orang tua pak Justin sudah menunggumu."

Nana membeku di tempat. Kakinya terasa berat untuk kembali melangkah melewati ujung lorong itu.

"Orangtua-Justin ?" Mencoba mengulangi perkataan Jeremy yang mungkin saja salah didengarnya. Namun, lelaki berkacamata didepannya ini mengulas senyum tipis sambil membenarkan.

"-kenapa mereka ingin menemuiku ? Apa karena aku-dan Justin-" Ucapan Nana menggantung, sejurus dengan kakinya yang tak beranjak sedikitpun dari tempatnya berdiri. Sedangkan Jeremy terus memberi kode padanya agar segera menemui mereka.

"Aku tidak tahu, mereka hanya menyuruhku membawamu kemari." Jeremy kembali tersenyum, namun terkesan lebih kaku. "Masuklah, mereka di dalam."

Tak lama, seorang wanita berpakaian seperti pelayan mendatangi Nana. Dengan penuturan se-sopan mungkin pelayan tersebut menyuruh Nana untuk segera masuk karena tuan besar mereka sudah menunggu.

"Masuklah." Kata Jeremy lagi. Sesaat sebelum Jeremy memutar tubuhnya untuk kembali ke lorong keluar Nana segera menahan lengannya dengan cepat.

"Tunggu, kau tidak ikut masuk ?"

"Aku hanya ditugaskan untuk mengantarmu sampai di sini, setelah ini aku akan kembali ke kantor." Melihat Nana semakin tercengang dan ragu, Jeremy kembali menambahkan. "Jangan takut, mereka tidak akan memakanmu."

Perlahan Jeremy pergi, sedangkan Nana masih terdiam di tempatnya berdiri tak menghiraukan pelayan tadi yang terus berusaha menyadarkannya.

Benak Nana kembali diliputi rasa takut, atensinya terus waspada bersamaan langkah kaki yang semakin menciut tipis, menapaki lantai marmer berwarna putih gading di bawahnya.

Pandangan Nana berkelana, mengamati setiap jengkal tempat ia berada. Sekali lagi kemewahan yang tertangkap oleh indera penglihatannya tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Tak luput ukiran-ukiran emas yang menempel pada setiap pintu ruangan yang Nana lewati, serta banyaknya perabotan dan hiasan rumah yang bisa Nana tebak, harganya selangit.

Membuat Nana tak habis pikir. Berapa banyak pelayan yang bertugas mengurus rumah sebesar ini. Beruntung Nana hanya di suruh bersih-bersih apartemen Justin saja, yang menurut Nana apartemen Justin sudah sangatlah besar.

Lagi pula Justin tak pernah cerita tentang latar belakang keluarganya, dan sekali lagi Nana bertanya pada benaknya sendiri. Apa lagi yang tidak Nana tahu tentang Justin ? Apa karena orang tua Justin tidak menyukai hubungan mereka, menjadi alasan Justin selama ini tak pernah bercerita tentang sosok keluarganya ? Atau karena Nana tidak pernah bertanya ?

Pelayan tadi menggiring Nana kesebuah ruangan dengan pintu kayu coklat besar, lagi-lagi ukiran emas di tepi pintu itu membuat otak Nana berhitung keras, berapa harga setiap potongannya ? Sepertinya mampu menghidupi keluarganya setengah tahun kedepan.

Pelayan tersebut mengetuk pelan dasar pintu tersebut kemudian mendorongnya masuk. Seorang wanita paruh baya di ujung sana langsung menyilakan masuk setelah pelayan tadi memberitahukan kalau tamu yang diminta sudah datang.

Ragu, Nana tetap melangkahkan kakinya masuk, dasar sepatu flat-nya menapaki karpet tebal berwarna merah marun. Sebelum akhirnya manik hitamnya melihat dengan jelas perawakan putih langsing dengan rambut bergelung di atas leher. Kisaran usia lebih dari setengah abad itu tetap cantik terawat meski keriput terlihat sedikit menyumbul di area mata. Tapi tetap tak memudarkan kecantikannya yang begitu tegas kentara. Ditambah dress tile bercorak bunga yang membungkus tubuh moleknya, menambah kesan berkelas sekaligus rupawan. Justin benar-benar menuruni paras kedua orang tuanya, tapi manik coklatnya lebih mirip sang ibu dari pada sang ayah.

Love Hurt'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang