19# Belantara dan Api Unggun

20 9 1
                                    


Twila's POV

Angin sepoi-sepoi membuat alunan musik yang alami. Itu terdengar sangat menenangkan ditelinga, dan juga mengasikan. Beberapa jam yang lalu--kami masih terjebak didalam sebuah lorong gelap nan menyebalkan. Tapi itu tadi, kini kami tengah menikmati alam yang sangat indah. Mereka seakan menyambut kedatangan kami dengan penuh semangat.

Beberapa jam telah kami lewati untuk melihat-lihat hutan, namun kami tidak hanya melihat tapi juga mencari jalan keluar menuju desa terdekat.

"Kita baru pertama kali kesini, tapi kenapa tempatnya seperti tidak asing." Suara Erin memecahkan keheningan.

"Ini hanya hutan, Rin. Ini bukan taman bermain," ucap Lie jengkel.

Aku menghela nafas pelan. Perjalanan ini begitu menyenangkan, tapi apakah aman selalu berjalan tanpa tujuan seperti ini.

Didepan sana, Akara tengah mengamati jam yang ada ditangannya. Puhh.. dasar--dia selalu saja mengandalkan benda itu. Padahal kami bertiga mempunyai kompas untuk menunjukan jalan.

"Apakah kita boleh istirahat?" Lie menyerah.

Akara mendengar suara Lie yang tengah kelelahan, dia berbalik untuk melihat.

"Ya sudah, kita istirahat dulu saja." Putus Akara.

"Sudah berapa lama kita berjalan, Twi?" Erin meletakkan ranselnya.

"Sudah delapan jam," jawabku singkat.

"Delapan jam! Sungguh... Ouh ternyata berjalan bersama itu bisa lupa waktu juga." Erin kembali duduk untuk meluruskan kakinya.

Aku terkekeh melihat Erin yang berseru. Aku juga tidak menyangka jika kami sudah hampir dua hari ditempat yang antah berantah ini. Aku masih bingung sekaligus tidak percaya jika kami ada ditahun tujuh puluhan. Ini mustahil bukan!

Kami berempat tengah beristirahat dibawah pohon besar yang berada tak jauh dari sungai. Aku tidak pernah mengira akan melihat sungai yang indah ditengah hutan atau sebenarnya hanya aku yang kaget akan hal itu.

"Gawat!" Lie berteriak kencang.

Aku, Erin dan Akara langsung terperanjat kaget mendengar suara Lie yang lumayan besar.

"Ada apa, Lie?" Aku bertanya setelah lebih tenang.

"Makanan kita hampir habis." Lie mengeluarkan isi ranselnya.

Erin yang terlihat santai juga menoleh setelah mendengar itu. Dia sedikit menggeleng mengetahui makanan yang kami bawa hampir mencapai titik nol.

"Tenang saja, inikan hutan. Pasti banyak buah yang bisa dimakan dan disana ada sungai, pasti ada ikannya." Akara berdecak lalu berjalan menuju sungai.

"Kenapa orang itu menyebalkan sekali, Twi!" Erin mendengus sebal.

"Tapi itu ide yang bagus, Rin."  Aku menyengir.

"Iya aku tahu, tapi caranya menyampaikan hal itu membuat telingaku panas. Dia menyebalkan sekali!" Erin menekuk wajahnya. Lie hanya menggeleng melihat tingkah Erin.

Sejenak aku melihat Akara yang tengah menggulung celana. Sepertinya dia akan menangkap ikan dengan tangan kosong. Aku kembali menoleh--ingin mengobrol dengan dua sahabatku, tapi situasi yang tengah Akara lakukan begitu ganjil.

Aku menoleh sekali lagi ke arah Akara. Dia akan segera masuk ke dalam air.

"Tunggu Akara!" Aku berteriak mendekati Akara.

Akara menoleh. "Ada apa, Twi?"

"Jangan masuk ke sungai, itu bisa saja berbahaya. Kamu tahu, sesuatu yang tenang mungkin ada bahayanya. Jadi jangan masuk ke sana sebelum kau mengeceknya." Aku mencoba menjelaskan apa yang aku pikirkan.

Lorong Waktu (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang