33# Takdir mu

9 3 1
                                    

Twila menatap laki-laki paruh baya didepannya. Orang itu menyeringai menatap Twi tanpa beralih sedikit pun. laki-laki itu mengaku sebagai paman yang mengkhianati keluarganya puluhan tahun lalu. Bahkan matanya tidak sedikit pun menunjukan rasa takut atau pun bersalah, manusia ini benar-benar seperti psikopat dimata Twi. Twi menahan nafas sejenak memikirkan cara agar dia bias melarikan diri dari sini.

"Apa kau tidak akan bertanya mengapa aku mencari dua barang itu?" suara itu terdengar berat. Twi mendongak melihat laki-laki itu, ia menyeringai.

"Bukankah anda tidak tahu diri." Twi menatap tajam ke arahnya. "Bahkan seharusnya kau malu untuk kembali menemui anggota keluarga yang telah kau khianati, Paman." Twi tersenyum, senyum mematikan yang ia punya.

Suara tawa terdengar dari mulut laki-laki itu. Kemudian mendekat pada Twi, ia menatap tajam ke arah keponakannya itu. "Benar, aku mengkhianati mereka demi sebuah kekayaan. Ayolah, bahkan orangtua angkat ku mengkhianati ku dengan berpura-pura baik pada anak malang seperti ku tapi ternyata ada udang dibalik batu."

Twi terdiam, ia mencerna kalimat yang baru saja orang itu ucapkan. "Aku akan bertanya satu kali saja," ujarnya dingin. "Mengapa anda tiba-tiba muncul." Mata mereka berdua bertemu.

Senyum milik laki-laki itu membuat Twi merinding. Ia sebisa mungkin menahan rasa takutnya, dia tidak boleh menunjukan jika ia takut untuk saat ini. Laki-laki itu menjauh menghembuskan nafas pelan menatap lukisan yang berada dibelakangnya.

"Lukisan ini pintu utama lorong waktu, dan karena lukisan ini juga aku tahu ada hal yang menakjubkan yang tidak dapat dipercaya oleh banyak orang. Namun, sepertinya takdir tidak begitu suka pada ku." Ia berhenti menatap leher Twi, lebih tepatnya kalung yang Twi kenakan.

"Apa maksud mu." Twi menatapnya tajam.

"Takdir mu sangat bagus, karena itu aku tidak suka."

Twi merasakan hawa yang tidak bagus disekitarnya. ia bersusah payah menelan saliva-nya. laki-laki yang dihadapannya menatap Twila tajam mengangkat tanggan seperti memberi perintah kepada seseorang.

Mata Twi menoleh ke segala arah dan tubuhnya seperti dipukul tiba-tiba padahal tidak ada siapa pun disana. Nafasnya terengah, dia sudah tidak bias Manahan rasa sakit yang bertubi-tubi. Dia ingin melawan namun ia tidak tahu ingin melawan pada siapa jika orangnya saja tidak ada.

"Tenanglah, aku hanya ingin kau memberikan kotak itu dan kunci lorong waktu." Laki-laki itu memukul leher belakang Twi dengan tiba-tiba membuat Twi tidak siap dengan hal itu. tubuhnya luruh hilang ke seimbangan. Ia sudah tidak sadarkan diri.

"Maafkan paman mu ni, tapi paman butuh kotak itu." Laki-laki tertawa dengan lepas. Mengambil kalung dari leher Twi lalu menggunakan lorong waktu, tidak lupa ia juga membawa Twi bersamanya.

***

Semua lomba telah selesai diadakan. Erin dan Lie sudah keluar dari ruangan masing-masing. Mereka bertemu berjanji akan bertemu didepan kelas, namun hanya mereka berdua yang ada disana.

"Apa Twi melihat pertandingan mu?" Lie melihat kesana kemari. Ia sedikit gusar dengan Twi yang tidak kunjung datang.

"Bukankah dia datang menemui mu, Lie? Tadi dia izin akan pergi menemui mu." Erin menatap Lie bingung.

Mereka menghela nafas pelan. Mencoba menghubungi ponsel Twi namun tidak ada jawaban, begitu pun telepon rumahnya tidak ada yang mengangkat.

"Ayo kita cari diseluruh sekolah, mungkin dia sedang ada pekerjaan." Erin mengangguk. "Kita berpencar," ujar Lie. Mereka berdua berpisah mencari keberadaan Twi.

Lorong Waktu (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang