22# Sepotong Kisah

15 5 0
                                    


Sebuah pagi yang cerah mengunjungi suatu tempat, yang dimana tempat itu adalah suatu desa terpencil didekat hutan belantara. Tempatnya yang jauh dari kota membuat suasana disana tidak terlalu bising oleh lalu lalang kendaraan.

Twi dan dua sahabatnya tiba ditempat yang sama saat mereka masuk ke dalam lorong waktu. Tampak aneh memang, tapi itu kenyataannya karena letak lorong waktu tidak berubah sama sekali.

"Rasanya kita lama sekali berkeliling didalam sana, dan sekarang kita tiba lagi disini. Apa kita tidak salah tahun, Twi?" Erin menyela cepat.

Twi terlihat mengusap wajah lalu menghela nafas.

"Ini sepertinya bukan tahun yang sama, Rin. Kita seperti berada di tahun sembilan puluhan." Lie menganalisis sekitar.

Setelah bercakap sebentar, mereka akhirnya keluar dari tempat itu untuk memastikan apakah mereka benar tidak salah tahun atau mungkin kembali pada tahun yang sama.

Setibanya diluar, mereka seakan takjub dengan keadaan sekitar. Pemandangan yang sebelumnya masih terasa asing dimata kini telah menjadi sangat indah dan banyak berubah.

"Itu nenek!" Twi berlari menghampiri sang nenek yang tengah menampi sebuah beras dengan Tampa tradisional.

Kaget dihampiri oleh sang cucu, sang nenek sempat akan mengusir namun ia urungkan karena melihat kalung yang dikenakan oleh Twi.

"Twila," ujar sang nenek lembut.

"Syukurlah nenek masih ingat dengan Twi. Oh iya nek sekarang sudah tahun berapa?" Twi bertanya dengan lembut.

"Ta--" kata itu terhenti karena tiba-tiba seorang anak laki-laki menghampiri mereka.

"Ibu, aku akan pergi ke pasar dikota lain untuk kembali mengumpulkan terigu," ujar anak itu tersenyum.

Erin menatap Twi dan Lie secara bersamaan. Kurasa mereka menyadari hal yang ganjil.

Untuk sebentar anak laki-laki itu menatap ke arah Twi dengan tatapan yang sulit untuk dimengerti. Namun, setelah itu ia pergi dengan santai.

"Siapa dia." Twi bergumam pelan.

"Eh, kalian bertiga ayo masuk ke rumah terlebih dahulu." Wanita itu mengajak Twi dan dua sahabatnya untuk masuk ke dalam rumah.

Ketika Twi dan dua sahabatnya memasuki rumah itu--ada hawa yang sangat berbeda.

"Pak, ini ada cucu kita datang," teriaknya.

Beberapa saat kemudian muncul seorang pria paruh baya dari balik gorden. Ia melihat ke arah tiga anak remaja dengan tatapan bingung.

"Bu, bagaimana kita sudah punya cucu jika anak kita saja masih sekolah," ucapnya dengan heran.

Erin menahan kesal dengan tersenyum. Lie hanya diam acuh dan Twi sudah memukul dahi karena ia tahu betul jika kakeknya itu sangat pikun.

"Kakek," ucap Twi pelan.

"KAKEK! sejak kapan kita punya cucu seumuran anak gadis kita, hah!"

Tampaknya pikun itu sudah menjadi darah yang tak akan hilang di kehidupan sang kakek. Dengan hati-hati si istri menjelaskan kambali dari awal. Bahkan dalam penjelasan itu kakek banyak menyanggah dan berdecak tidak percaya.

"Ahh ya sudahlah," ujarnya pasrah. "Tapi apakah benar kalian menggunakan lorong waktu untuk kemari?" ucapnya sedikit pelan.

Mereka bertiga mengangguk serempak.

"Eh iya kek, apa kalian sebelumnya punya anak laki-laki? Karena mama tidak pernah bilang kalau punya seorang kakak." Twi bertanya tidak sabaran.

Semua orang yang ada di ruangan itu terdiam.

Lorong Waktu (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang