21# Apa Sekarang Waktunya?

22 7 0
                                    


Twila's POV

"Aku akan pergi!!"

Mendengar teriakan itu seketika tubuhku membeku. Mengapa.. tidak maksudku apa waktunya sekarang untuk berpamitan?

Akara melangkah mendekati kami. Ia melangkah begitu tenang sambil tersenyum. Sekali-kali aku menelan ludah--mataku terasa menghangat tanpa sebab.

"Aku akan pergi. Hmm.. sepertinya kisahku hanya sampai disini teman-teman. Iya, karena ada panggilan darurat dari jamku. Itu artinya kakekku akan segera menuju ruangan kerjanya dan aku harus cepat kembali agar ia tidak tahu jika aku menggunakan ruang demensi." Mata itu seperti mengisyaratkan sebuah penyesalan.

Aku menghela nafas pelan. Erin sudah berjabat tangan sebagai salam perpisahan kepada Akara. Dan Lie, dia tersenyum kepada Akara sebagai tanda terima kasih.

"Kami sangat terbantu atas hadirnya dirimu." Lie tersenyum.

"Lie benar, kami tidak tahu bagaimana jadinya jika kamu tidak ada, Akara. Dan iya.. perjalanan ini akan sedikit sunyi nantinya." Erin terkekeh pelan.

Semuanya terlihat santai dengan perpisahan ini. Aku akhirnya tersenyum melangkah mendekati mereka semua.

"Terima kasih, Akara. Kami akan selalu mengingat semua kebaikan mu." Aku berterima kasih karena Akara sudah tanpa sengaja datang.

Akara mengangguk. Lalu, ia menekan sesuatu yang ada dijam tangannya.

Hussh..

Suara angin yang sedikit kencang membuat sebuah lorong yang bercahaya. Tapi, lorong ini tidak besar hanya berbentuk lingkaran yang cukup untuk tubuh Akara masuk kedalamnya.

"Baiklah.. kita berpisah disini." Akara melambaikan tangan. Kami membalasnya dengan tersenyum.

"Ayo pergi," ucapku. Erin dan Lie berbalik. Ahh.. kami akan menyelesaikan separuh perjalanan ini hanya bertiga.

Ketika kami sudah sedikit menjauh, terdengar suara Akara yang berteriak kencang.

"Twilaa!!" Akara berlari cepat.

Mendengar teriakan itu aku langsung berbalik badan--menatap Akara yang tengah berlari mendekat.

"Aku melupakan ini." Akara memperlihatkan kalung yang ada ditangannya.

"Eehh.. aku bahkan tidak sad--"

"Lain kali kau tidak boleh melupakannya," ucap Akara yang sedang memasangkan kalung ke leherku.

Aku menahan nafas. Ini posisi yang paling menyebalkan. "Te-terima kasih."

Akara mengangguk. "Sampai jumpa!" Akara berlari sebelum lorong itu menutup sempurna.

Ada cahaya yang menyilaukan mata disaat tubuh Akara telah sempurna masuk kesana.

"Huh.. ayo kita lanjutkan!" Aku bersorak.

***

Author's POV

Setelah kepergian Akara yang menyisahkan ruang kosong diantara mereka. Wajah itu kembali terlihat riang ketika mereka berhasil menemukan rumah milik orangtua dari ibunya Twi. Mereka tadinya sudah sangat putus asa dengan segala alamat yang telah mereka kunjungi. Tapi seorang kakek yang baik hati membantu mereka untuk sampai disini. Dan kakek itu adalah kakeknya Twi.

"Ahh.. aku tidak menyangka jika kita akan kedatangan tamu dari cucu masa depan kita." Kakek Twi tertawa.

Wajah Erin terlihat menelisik setiap sudut ruangan milik neneknya Twi.

Lorong Waktu (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang