16# Labirin

47 11 5
                                    

Petualangan Twi dan dua sahabatnya semakin menjadi-jadi. Begitu pula dengan suasana lorong kian mencengkram ditambah dengan adanya cahaya yang membuat risih atau member harapan palsu kepada mereka. Berkali-kali mereka berlari untuk menuju sebuah cahaya tapi semua itu sia-sia. Cahaya itu seperti membawa mereka ketempat yang sama terus menerus. Lelah, kecewa—mereka pada situasi yang seperti ini.
Lie terduduk, nafasnya tersengal-sengal. Erin, ia juga ikut bersandar di dinding lorong, sedangkan Twi berusaha menahan kakinya yang keram akibat terlalu lama berlari.

"Aku lelah." Lie mendesah pasrah.

"Tempat ini, tempat macam apa ini. Mengapa kita hanya berputar-putar mengikuti cahaya tipuan itu, Twi!" suara Erin sedikit meninggi.

Twi berusaha keras menelan ludahnya. Wajah muda itu terlihat kacau, ia sepertinya paham jika emosi tidak akan menunjukkan sebuah jalan. "Aku--" Suara Twi terhenti. Twi mencoba mendekati dua sahabatnya. Ia merangkul bahu Lie dan Erin secara bersamaan agar mereka bisa sedikit lebih tenang. "Aku minta maaf. Pertama, karena kalian terjebak disini. Kedua, karena aku tidak bisa menjadi pemandu jalan yang baik. Seharusnya, aku pelajari lebih dalam tentang lorong ini tapi karena terlalu bersemangat—aku jadi ceroboh. Aku minta maaf teman-teman." Twi menahan tangis yang ingin keluar.

Hening, tidak ada suara bahkan untuk helaan nafas sekalipun. Mereka seperti diam membisu tak bisa berbicara apa pun.

"Tidak Twi, maaf.. karena semua keluhan ini. Seharusnya perjalanan ini menjadi menyenangkan tanpa ada keluhan tapi semuanya berbalik arah. Sebaiknya kita tidak mengikuti cahaya tipuan itu lagi, Twi." Erin sengaja menekan kalimat yang terakhir. Lie tertawa mendengar sumpah serapah Erin. Syukurlah, keadaan kembali menjadi hangat.

"Twi, mungkin Ada benarnya jika cahaya itu tipuan." Lie mencoba menerka-nerka. "Karena sudah cukup lama kita mengikuti cahaya itu tapi tidak ada hasil. Sebenarnya cahaya apa itu."

"Bisa jadi, tapi jika kita ingin tahu—kita harus mencari tahu asal dari cahaya itu." Twi mencoba berdiri, diikuti oleh dua sahabatnya. "Kita harus melanjutkan perjalanan ini." Dua sahabatnya mengangguk.

***

Twila's POV

Lelah, iya kami lelah tapi jika kami hanya mengeluh—kami tidak akan menemukan jalan keluar dari lorong ini. Kaki ku kian terasa sakit, tapi aku tidak boleh membuat dua sahabatku menjadi khawatir. Ini hanya keram biasa bukan cedera.

Perjalanan ini membuat kami belajar pentingnya memahami satu sama lain. Kalian harus tahu, jika dalam persahabatan itu tidak boleh saling menyalahkan satu sama lain. Hal itu akan membuat semuanya kacau balau. Tapi, jika kalian melihat kondisi dan perasaan satu sama lain—kalian akan bisa memahami dan mendapat solusi. Itu lebih baik dari pada mengeluarkan emosi.

"Twi! Lihat itu ada cahaya lagi!" Erin berseru.

"Ayo kita ikuti cahaya itu!" aku bersorak kencang. Kami kembali berlari mengikuti cahaya itu.

"Twi itu ada cahaya lagi!" Lie berseru. Aku mendadak berhenti.

"Cahayanya ada dua, Twi." Erin mengusap wajah gusar.

"Tunggu, itu.. itu cahaya lagi!" Lie berseru frustasi.

Aku menghembuskan nafas kasar. Cahaya itu sepertinya memang tipuan. Baru tadi kami dikecohkan oleh satu persatu cahaya, sekarang cahayanya mulai berpecah menjadi tiga.

Lorong Waktu (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang