1. Arash

799 65 28
                                    

Apa yang kalian rasakan, jika berteman dengan mayoritas laki- laki?

Seru katanya!

Kata siapa?

Kata aku lah.

Tidak semua anak laki- laki itu nakal, tidak semua dari mereka itu urakan.

Aku, Haura Latisha. Mahasiswi semester 7 di salah satu Universitas Swasta di kota kecil di Jawa barat—Karawang. Mayoritas teman- temanku adalah para jantan. Entah lah, dari kecil sahabat- sahabatku adalah para laki- laki.

Bahkan sampai sekarang, aku harus satu kelas dengan mayoritas mahasiswanya adalah para jantan. Di kelas ku hanya ada 9 orang betina diantara 32 mahasiswa, yang sudah jelas sisanya para jantan. Meski aku tahu tidak semua dari mereka itu 'JANTAN!' dalam tanda kutip ya.

Ah, pasti ada yang lembeknya?

Tentu. Karena aku pikir itulah hukum alam, di setiap kelas pasti ada satu yang kemayu.

Jurusan apa? Teknik?

Bukan! Manajemen!

Kok manajemen mayoritas cowok?
Aku sendiri tak paham, dari 10 kelas hanya kelasku yang memiliki banyak mahasiswa jantan dibanding betina. Bahkan tak jarang para dosen pun heran. Kita bahkan sering merasa salah ambil jurusan, dan berpikir bahwa kita memang anak teknik.

Hal ini juga menyebabkan banyak mahasiswi kelas lain yang suka terbang- terbang ke kelasku.

Ngapain?

Cari perhatian! juga sekalian cuci mata, katanya. Mereka dengan sengaja tidak ikut satu mata kuliah di kelasnya dengan berbagai alasan. Yang paling sering adalah karena dosennya tak masuk. Biasanya kelas kita memang tak selalu punya dosen yang sama disatu mata kuliah, hingga akhirnya mereka ikut mata kuliah itu di kelasku. Tak bisa dipungkiri juga, nyatanya memang di kelasku banyak cogannya.

Tapi jangan pernah menilai orang dari covernya, wajah boleh tampan, otak boleh pintar. Tapi kelakuannya subhanallah bobroknya, bikin geleng- geleng kepala. Pusing kunang- kunang—eh sorry, kok kayak iklan.

Setiap hari senam jantung, sakit perut, tapi gak sampai diare. Bahkan sampai hari-hari penuh haru, nangis nahan ketawa.

Berteman dengan banyak laki- laki, apa aku tomboy?

Ah, tidak.

Aku perempuan biasa, tidak tomboy, maupun feminin. Hanya saja berteman dengan para laki- laki membuatku lebih nyaman. Mereka asyik, aku merasa lebih dihargai, lebih di prioritaskan dan merasa dilindungi. Ketika jiwa malaikat mereka terguncang, dan memilih mengalah untuk perempuan.

Apakah tidak ada dukanya berteman dengan laki- laki? tentu ada, berteman dengan perempuan saja ada dukanya, apalagi dengan laki- laki. Mereka itu pasti punya sisi nakal, nakal mereka itu sering colek sana colek sini, suka main rangkul- rangkul, dan terkadang suka melontarkan candaan yang menurutku agak jorok dan terlalu 18+. Lawakan basi, tapi cukup buat ngeri.

Risih gak sih mereka colek? iya. Karena bagaimana pun itu tidak sopan. Mereka coleknya bagian yang paling sensitif, ekhm 'pant*t' misalnya. Meski tak semua, tapi ada. Aku yang kasar ini diperlakukan seperti itu sudah tentu main tabok. Gak mandang siapa mereka, dan untungnya mereka tak marah dan sangat mengerti sifat dan karakter aku.

Belum lagi main rangkul sembarangan, pacarnya lihat, aku yang kena semprot. Padahal cowoknya yang ganjen. Tapi, ketika mereka bertengkar aku yang tertawa. "Rasain lo, makan tuh cabe rawit!" begitu kiranya, kalian tahu sendiri, seberapa pedas ocehan perempuan yang sedang marah.

Aku juga tidak suka olah raga, maka saat mereka olah raga, entah itu main basket, sepak bola, voly atau yang lainnya, itu adalah kesempatan ku untuk menjadi betina seutuhnya.

Dengan seisi kelas yang hanya 9 mahasiswi, maka aku gunakan kesempatan itu untuk sekedar punya satu atau bahkan lebih teman perempuan. Maka dengan sebisa mungkin harus bisa berbaur. Tapi, ada dua orang yang cukup satu frekuensi. Orang yang bisa mengerti dan paham dengan karakterku. Orang yang punya selera humor rendah seperti aku. Mereka adalah kak Shita dan Laras.

Kak Shita yang lebih dewasa, mampu merangkul dan menyesuaikan candaan dengan lawan bicaranya. Dia pintar, baik, punya publik speaking yang bagus, mudah bergaul, dan tentunya tingkat percaya diri yang tinggi. Sedangkan Laras—ah, anak ini tak jauh beda denganku. Malas, kadang suka marah-marah gak jelas, moodnya mudah berantakan. Tapi, dia seperti kak Shita, yang humbel, supel, percaya diri. Temannya banyak, ketika bertemu orang baru ya bisa langsung akrab. Lain denganku yang harus mengenal lebih dalam dulu baru bisa akrab dan terbuka dengan orang.

Berteman dengan laki- laki juga menjadi sasaran empuk perjodohan tanpa obrolan terlebih dulu. Aku paling sering di jodoh- jodohkan dengan Sadam, teman sekelas ku di kampus.

Sadam itu slengean, lawak, kelakuannya gak jelas, pecicilan, ah pokonya tak ada yang bisa dibanggakan darinya. Pintar pun ya tidak juga, standar lah.

Sampai- sampai karena terlalu keseringan dijadikan bahan bercandaan, itu membuat aku semakin akrab dengan Sadam. Sadam tak seburuk yang aku pikirkan. Aku sering bertamu kerumah Sadam, sekedar main saja ataupun mengerjakan tugas bersama. Keluarga Sadam sangat baik, Ayah dan Ibunya sangat ramah serta terbuka.

Namun, karena keseringan ku bertamu kerumah Sadam, membuat aku akrab dengan orang tuanya juga dan adiknya Sadam, Arash namanya. Usianya beda tujuh tahun dengan ku, Arash baru kelas dua SMP sekarang ini, berarti sekitar 13 tahun jalan 14.

Arash anak yang bisa aku katakan 'tampan', matanya yang bulat dengan sedikit lesung pipit dan alis yang tebal. Bahkan aku sempat mengira Arash bukan adiknya Sadam. Sadam tidak jelek, dia juga tampan, tapi tampan yang pasaran, tidak seperti Arash. Saudara kandung yang tidak ada mirip- miripnya.

Saking akrabnya dengan Arash, aku bahkan tak segan untuk bercerita banyak tetang masalalu, keseharian di kampus, pertemananku dengan Sadam bahkan tentang kehidupan pribadiku pada Arash. Begitupun Arash padaku.

Kalau kata Sadam, "Yang kakak lo itu gue apa Haura sih, Ras?"

Namun, hari itu. Aku tidak pernah menduga Arash akan mengucapkan kata- kata yang menggelikan.

"Kak, Arash pengen pacaran deh," ungkapnya.

"Ya pacaran atuh. Emang dilarang sama abang? atau sama Ayah Ibu?"

"Enggak sih."

"Ya terus? ceweknya gak ada?" tanyaku sambil mengejek.

"Ada, tapi Arash malu," kata Arash cengengesan.

"Utarain, dicoba gak ada salahnya. Takut ditolak?" Arash mengangguk, "kalau di tolak, ya kejar lagi. Jangan nyerah gitu aja kalau kamu bener- bener sayang sama dia."

"Gitu ya kak?" aku mengangguk, "kalau gitu, kakak mau gak jadi pacar aku?" Aku menatap Arash tak percaya, jadi perempuan yang di maksud itu adalah aku?

Cerita cerita aku unpublish, mau fokus ke cerita ini dulu. Cerita aku yang lain juga masih berantakan banget.

Kalau kalian ngeh ada yang berantakan di cerita yang ini tolong komen ya hehe 😁

Anak Kecil Ngomongin Cinta?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang