Ivo menghentikan langkahnya saat merasakan telapak tangan Rene yang sedingin es seolah tidak dialiri darah, ia menoleh pada adiknya yang sejak tadi pagi bersikap aneh. Setiap ditanya hanya menggeleng dan tiba-tiba menangis tidak jelas.
“Kenapa?” tanya Ivo dengan lembut, ia meraih wajah Rene dan tersentak kaget saat mendapati wajah ayu itu sedang menangis lagi.
“Takut.” ucap Rene dengan sangat lirih tapi mampu Ivo dengar dalam riuhnya suasana bandara Soekarno-Hatta
Ivo menengok kanan dan kiri sebelum membawa Rene duduk tidak jauh dari situ.
“Ada apa? Apa yang membuatmu takut?” tanya Ivo sambil mendekatkan wajah mereka, banyak yang bilang bahwa wajah mereka tidak mirip. Ivo lebih mirip sang ayah, sedang Rene dan Aron lebih mirip sang mama. “Apakah kau bermimpi lagi?” Ivo mengusap bekas air mata Rene dengan lembut.
Rene mengangguk dan masuk kedalam pelukan kakaknya.
“Kita batalkan saja penerbangan kita ya, aku akan menghubungi kakek.”
Rene mengangguk dan masih menyandarkan tubuhnya pada dada bidang Ivo yang nyaman sama seperti Tristan. Rene kembali menangis saat mengingat laki-laki brengsek itu, bahkan sampai saat ini ia masih merasakan perih di bagian bawah tubuhnya. Namun rasa sakit itu tidak seberapa daripada rasa sakit yang ada di hatinya, tega sekali Tristan melakukan itu padanya. Rene benci, benci pada laki-laki itu.
“Kamu menangis lagi?” Ivo mendongakkan wajah Rene, “Sebenarnya ada apa Ren? Kamu tidak biasanya seperti ini?”
Rene hanya menggelang dan menyurukkan badannya pada Ivo.
Mereka cukup lama berada disana sampai terdengar kabar bahwa ada pesawat jatuh, Ivo dan Rene saling berpandangan sebelum Ivo memeluk Rene lagi. Setelah aksi penangkapan besar-besaran kedua orang tua mereka, Ivo memang lebih ekspresif dalam memperlakukan Rene, karena bagaimanapun Ivo sadar bahwa keluarganya di dunia ini hanyalah Rene seorang. Ia pesimis jika Aron adiknya dapat selamat, Ivo sengaja bungkam tentang keadaan Aron pada Rene karena tidak ingin membuat Rene panik. Apalagi dibandingkan dengannya, Rene sangat dekat dengan Aron.
Ponsel Ivo berdering, dan tanpa melepas pelukannya laki-laki sembilan belas tahun itu menjawab panggilan dari kakeknya.
“Ivo… apa maksudnya nama Renanta dinyatakan sebagai korban pesawat hilang?”
Ivo tersentak kaget mendengar hal itu, ia memang belum melihat berita malam ini dengan teliti, ia masih sibuk menghibur Rene yang entah ada masalah apa.
“Aku belum membaca berita kek, tapi Rene ada bersamaku.”
“Syukurlah kalau begitu...cepat pesan penerbangan berikutnya menuju Hamburg.”
“Ada apa kek?”
“Keadaan Aron terus menurun dan para dokter mulai angkat tangan.”
Terlambat jika ingin menjauhkan pembicaraan telepon itu dari Rene, karena Rene sudah pasti mendengarnya. Hal itu terbukti dari wajah Rene yang pucat.
“Aku akan memeriksa penerbangan selanjutnya kek.”
Ivo langsung mengakhiri panggilan telepon tersebut dan bisa merasakan Rene yang kembali menangis sesenggukan di dadanya. Ivo membiarkan hal itu dan berjanji pada dirinya sendiri bahwa ini adalah kali terakhir ia melihat adiknya menangis.
SOMEBODY-19
Philip baru sempat mengunjungi apartemen Tristan saat petang, ia tadi bangun kesiangan sehingga tidak bisa mengantar Gigi menuju sekolah. Sejak pelajaran tambahan mereka yang tidak terduga itu, Philip memang berpesan pada Gigi untuk terus merepotkannya termasuk dalam urusan mengantar dan menjemput. Nyatanya hari ini Philip hanya bisa menjemput Gigi sebelum mereka pergi kerumah Rene, karena kata Gigi, Rene tidak masuk hari ini. Bahkan sejak semalam ponsel Rene sudah tidak aktif.
KAMU SEDANG MEMBACA
SOMEBODY [END]
RomanceTidur dan bermimpilah - Tristan Mungkin Tuhan sedang bermain dengan takdir - Rene