Tristan tidak peduli saat berulang kali ia menabrak orang yang sedang berlalu lalang di Bandara Soekarno-Hatta, ia tidak akan tenang sebelum mendengar sendiri kabar tentang Rene. Apa-apaan ini? Kenapa Rene bisa ada didalam pesawat yang jatuh itu? Sial, cuma Rene seorang yang bisa memporak-poranda hidupnya seperti ini.
Setelah di oper kesana kemari seperti bola, akhirnya Tristan bisa bertanya pada orang yang tepat.
“Renata Luci….”
“Nanta pak, ada N nya. Re-NaN-Ta…”
Disaat seperti ini masih bisa-bisanya Tristan mengoreksi cara pelafalan pak petugas. Untung saja petugas itu tidak tersinggung sama sekali dan malah mengulum senyum kecil. Orang panik bisa seperti ini juga, pikirnya.
“Mohon maaf pak, kami sudah mengklarifikasi daftar nama korban, sebelumnya memang ada kesalahan. Dan dari data yang saya pegang nona RenaN-ta… ternyata tidak ikut dalam penerbangan. Sepertinya dia sudah membatalkan penerbangan sebelum pesawat lepas landas.”
Tristan lega bukan main hingga matanya terlihat buram karena air mata yang menggenang. “Jadi Renanta tidak ada di dalam pesawat itu?”
“Iya pak.”
“Kalau begitu Renanta pergi kemana pak?”
“Wah kalau itu saya kurang tahu ya, apakah dia tidak bisa dihubungi?”
Tristan menggeleng.
“Sebentar mungkin saya bisa membantu. Ah… ini dia. Nona Renanta terdaftar sebagai penumpang yang terbang menuju Hamburg tadi malam pak. Pesawat berangkat sekitar jam sembilan malam, dan sudah mendarat dengan sempurna di bandara Hamburg, Jerman.”
“Jer….man?”
“Iya.”
Tristan tidak habis pikir dengan apa yang Rene lakukan, setelah mengucapkan terima kasih ia berbalik pergi dan jatuh bersandar di dekat tembok, menangis sendirian disana. Penyesalan, rasa bersalah, dan kelegaan bercampur jadi satu. Hingga tidak sadar bahwa ponsel Gigi yang sedang ia pegang berbunyi berkali-kali.
“Elo dimana ogeb?” teriak Philip melalui ponsel.
Masih dengan wajah bercucuran air mata, Tristan malah mengoceh tidak karuan, “Dia masih hidup Lip, dia masih hidup…”
Tristan tidak peduli jika ia jadi bahan tontonan, ia hanya ingin bersyukur bahwa Renantanya baik-baik saja. Meski berada jauh disana, sekarang yang harus ia lakukan adalah minta izin pada papanya agar ia bisa kuliah di Jerman dan menemui Rene untuk menebus rasa bersalah.
Tapi rencana hanya tinggal rencana, dengan tegas Edo menolak usul Tristan.
“TIDAK!! Papa sudah mendaftarkan mu ke MIT dan minggu depan kamu harus berangkat, pokoknya papa tidak mau tahu. Tiga tahun terakhir papa membiarkanmu mengambil keputusan sendiri, tapi kali ini papa harus turun tangan. Kamu anak papa satu-satunya Tristan, kamu yang akan mewarisi semua perusahaan papa. Mau kuliah apa kamu di Jerman? College paling terbaik di dunia itu MIT.”
Tristan mendongak menatap mata papanya yang terlihat marah, tidak peduli pada Helena yang memperhatikan mereka dalam diam.
“Tristan akan tetap ke Jerman.”
“Berani kamu setelah kamu membunuh adikmu sendiri?”
Tristan sama sekali tidak menyangka bahwa papanya akan bicara seperti itu padanya.
“Setelah hampir mencelakakan mamamu.” Edo menunjuk Helena yang mencoba membantah. “Kalau bukan karena kamu pasti mamamu akan baik-baik saja, pasti adikmu masih hidup sampai sekarang. Dan apa yang kamu lakukan? Mau pergi ke Jerman? Sekarang papa tanya mau apa kamu kesana?”
KAMU SEDANG MEMBACA
SOMEBODY [END]
RomanceTidur dan bermimpilah - Tristan Mungkin Tuhan sedang bermain dengan takdir - Rene